perempuan merupakan salah satu isu global yang sampai saat ini masih terus menggentayangi. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik, psikologis, seksual, hingga ekonomi, terus terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dari adanya kasus tersebut, setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember diperingati sebagai "Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan". Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bukan sekadar tanggal dalam kalender, ini adalah kumpulan teriakan dari jutaan perempuan yang suaranya selama ini terbungkam. Kenyataan pahit yang sering kali dianggap "biasa", baik yang terjadi di balik pintu rumah maupun di ruang publik. Momen ini bukanlah tentang meratapi nasib seorang yang terlahir sebagai perempuan, melainkan tentang menciptakan keberanian bersama untuk melawan ketidakadilan yang mengakar.
Kekerasan terhadapSelama bertahun-tahun, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai isu "privat", sesuatu yang sangat sensitif untuk dibicarakan di ruang publik. Korban dipaksa bungkam karena takut dipermalukan, dianggap tidak bisa menjaga diri, dan malah disalahkan. Statistik menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan selama hidupnya. Di Indonesia, data Komnas Perempuan pada tahun-tahun terakhir terutama selama masa pandemi, menunjukkan lonjakan jumlah kasus kekerasan. Kondisi ini menggambarkan bahwa rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindung, sering kali menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan. Tidak semua perempuan memiliki kemewahan untuk bersuara, terlalu takut oleh stigma, norma patriarki, dan kurangnya dukungan terhadap korban. Perempuan sering kali dipersalahkan atas kekerasan yang menimpa mereka, sehingga enggan melaporkan atau mencari pertolongan.
Di banyak tempat, hukum dan budaya masih melanggengkan sikap permisif terhadap kekerasan, membuat para korban merasa tak berdaya. Di sinilah kita perlu bertanya: jika korban tidak bisa bersuara, siapa yang akan berbicara untuk mereka? Selama 16 hari, perempuan di seluruh dunia mulai menolak untuk tetap diam. Gerakan seperti #MeToo atau #LawanBersama menunjukkan bahwa berbicara adalah langkah pertama untuk melawan kekerasan. Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan seharusnya bukan hanya ajang menyebar tagar atau sekadar diskusi di seminar. Ini adalah seruan untuk tindakan nyata. Perempuan membutuhkan lebih dari sekadar simpati; mereka membutuhkan sistem yang mendukung para perempuan untuk bangkit dari trauma dan melawan pelaku kekerasan.
Pemerintah perlu memperkuat dan menegakkan hukum yang melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tindakan ini merupakan langkah maju yang harus diikuti dengan implementasi yang tegas, pendampingan korban yang maksimal, serta pendidikan kepada aparat hukum agar responsif terhadap kasus kekerasan. Aturan tanpa implementasi hanyalah tinta di atas kertas. Penegakan hukum harus benar-benar tegas, aparat harus sensitif terhadap korban, dan pelaku harus benar-benar dihukum untuk mencegah terulangnya kekerasan.
Selain dari adanya penegakkan hukum, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang akhirnya terselesaikan karena dukungan dari sesama perempuan. Komunitas perempuan, baik formal maupun informal, harus menjadi ruang aman bagi para korban. Dukungan ini bisa berupa tempat berlindung, konseling, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi. Karena, para korban kekerasan membutuhkan lebih dari sekadar simpati. Mereka membutuhkan dukungan psikologis, perlindungan hukum, serta reintegrasi sosial yang memadai. Lembaga-lembaga sosial dan komunitas perlu memainkan peran ini dengan sangat maksimal, sebagai rasa kepedulian sesama perempuan.
Sebanyak apa pun undang-undang yang dibuat, kekerasan tidak akan berakhir jika akar budaya kita tidak berubah. Pemikiran patriarkal yang merendahkan perempuan harus benar-benar dihentikan. Media, institusi pendidikan, dan keluarga punya tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai kesetaraan gender sejak dini. Menghapus kekerasan terhadap perempuan adalah perjalanan panjang yang memerlukan upaya gabungan. Setiap langkah kecil adalah langkah ke arah yang benar. Mulai dari mendengarkan cerita korban tanpa menghakimi, mendukung teman yang sedang berjuang, hingga berani melawan norma yang merugikan perempuan, kita semua punya peran.
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan harus menjadi simbol harapan-harapan bahwa luka-luka ini akan sembuh. Bahwa perempuan tidak perlu lagi takut, dan bahwa dunia bisa menjadi tempat yang lebih aman dan adil. Mari kita jadikan hari ini sebagai langkah awal menuju dunia yang lebih aman, setara, dan penuh penghormatan terhadap hak-hak perempuan. Dan untuk mencapai itu, kita tidak boleh lagi diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H