Segelas kopi hangat dan novel di genggaman adalah paduan yang cocok untuk menikmati rintik hujan. Suara merdu rintik hujan membuat pikiran menjadi lebih tenang. Hari ini merupakan hari istimewa, hubunganku dengan Dimas yang sudah menginjak 4 tahun. Seseorang yang asing tiba-tiba muncul dalam hidupku, hingga membuatku tidak tenang karena terus memikirkannya. Ketika melihatnya selalu membuat jantungku maraton, ah, lucu sekali, bahkan perasaan itu masih sama hingga sekarang. Kuharap ceritaku dengannya sama seperti novel yang ku genggam, Antara Takdir Dan Do'a, takdir kita memang tidak ada yang tahu, tapi aku yakin Tuhan akan mengabulkan permintaan hambanya yang tulus meminta kepada-Nya.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku, "ada yang ingin mama bicarakan denganmu, kamu bisa datang sekarang?", ujar mama dari seberang sana. Dengan sigap, aku segera pergi menuju ke lokasi yang mama kirimkan padaku. Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengan mama, sejak kepergian mendiang ayahku, mama selalu menyibukkan diri agar tidak selalu berada dalam kesedihan.
***
Aku terdiam cukup lama, mama sibuk berbicara dengan seorang lelaki yang seumuran denganku. Pikiranku sibuk memikirkan berbagai kemungkinan, namun satu hal yang pasti jika lelaki di hadapanku akan menjadi ayah tiriku, entahlah bagaimana nanti aku harus memberi tanggapan atas keputusan mereka. "Kenalkan, dia Fahmi, teman kerja mama. Dan ini anak saya, namanya Naina, dia seumuran denganmu", jelas mama. Perkenalan yang cukup singkat, aku tidak berniat untuk mengenal lelaki ini lebih jauh, dia jelas sekali bukan tipeku. Selebihnya, mereka sibuk mengobrol berbagai hal, dan tentu saja mama sibuk menceritakan tentang diriku. Mungkin agar ia bisa lebih dekat denganku dan memberinya restu agar bisa menjadi ayah tiriku. Dan jawabanku, tentu saja tidak.
***
"Kapan kamu ingin menemui mama?", tanyaku pada Dimas, namun ia tetap saja diam dan mengubah topik pembicaraanku. "Kita bukan anak remaja lagi...", "aku tahu Naina, tapi aku hanya lulusan SMA, apalagi dengan pekerjaanku yang sekarang, apa ia akan menerimaku?", potong Dimas. "Mama tidak pernah merendahkan siapapun, ia juga pernah merasakan hidup kesusahan. Aku hanya ingin mama tahu kalau hubungan kita benar-benar serius", tak ada tanggapan apapun darinya. Ia menggenggam jemariku perlahan, tatapan lembut darinya selalu berhasil membuatku jauh lebih tenang, "aku akan menemui mamamu minggu depan, aku hanya butuh waktu. Maaf sudah membuatmu kesal".
***
Ketenangan pantai selalu membuatku rindu, suara merdu ombak, anginnya yang sejuk, tapi tak ada senja yang melengkapi. "Maaf membuatmu menunggu", aku sedikit terkejut dengan kedatangannya, "mamamu sedang sibuk, jadi hanya aku yang datang", Â "sibuk seperti biasanya", mempunyai banyak bisnis dimana-mana hingga tak ada waktu untuk anaknya sendiri sering membuatku kesal.
Tak butuh waktu lama, kami mulai mengenal satu sama lain. Kami yang mempunyai banyak kesamaan, membuatku tak canggung untuk mengobrol dengannya. "Kamu tahu apa yang membuatku lebih menyukai senja?", "senja selalu menepati janjinya untuk datang lagi besok", ucapku asal menebak. Ia menatapku cukup lama, hingga membuatku kebingungan, apa ada yang salah dengan ucapanku, namun senyum hangat mulai terlukis di wajahnya, "akhirnya aku mendapatkan jawaban yang selama ini aku cari", kami kembali terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Ponselku berderit, "bagaimana menurutmu? Apa dia cocok?", sebuah pesan singkat dari mama, ku hembuskan napas panjang, hampir saja aku lupa bahwa lelaki di sampingku adalah calon ayah tiriku.
***
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, perdebatan diantara kami kembali terjadi. Hingga sekarang mama belum juga merestui hubunganku dengan Dimas. "Dia tidak pantas untukmu Naina", "apa karena pekerjaannya sekarang? Mama lupa bagaimana mama dulu?", "mama tidak pernah lupa, mama hanya ingin kamu mendapatkan lelaki baik yang akan mendampingimu", "Dimas lelaki yang baik...", "jika dia lelaki yang baik, ia tidak pernah main-main dengan hubungan yang sudah ia jalani", "dia hanya butuh waktu...", "suatu saat kamu akan mengerti ucapan mama, kamu bisa pulang sekarang", potong mama, mengakhiri ucapan kami.
Pipiku mulai basah, entah sampai kapan mama akan bersikap egois seperti ini. Kulangkahkan kakiku keluar, segera kuhubungi Dimas untuk bertemu. Hanya dia satu-satunya orang yang kubutuhkan sekarang, namun tak ada jawaban apapun darinya.
***
4 hari berlalu, hubunganku dengan mama sudah membaik. Aku mulai paham, seperti apa kekhawatiran mama, apalagi hingga sekarang Dimas juga belum menunjukkan keseriusannya dalam hubungan kami. Acara hari ini sangat meriah, sebuah acara yang diadakan Fahmi atas kesuksesannya membuat bisnis baru. Namun, obrolan orang-orang disini membuatku semakin bosan, ku bergegas keluar menuju balkon mencari udara segar, setidaknya bisa membuatku lebih nyaman.
Namun, tak sesuai harapanku, di sana sudah ada Dimas yang tengah berpelukan mesra dengan seorang wanita. Pikiranku mulai berkecamuk, perasaanku sesak, lelaki yang kucintai telah berkhianat. 4 tahun menjalin hubungan dengan seseorang yang kupikir mencintaiku seutuhnya, airmata ini tidak pantas untuknya. Tapi apa yang bisa kulakukan selain menangisi takdirku. Tiba-tiba saja, Fahmi melewatiku dan menghampiri Dimas, sebuah pukulan menghantam wajahnya dengan keras. Dimas tampak sangat marah, namun ia lebih terkejut ketika melihatku menatap dirinya dengan perasaan marah.
Dengan sigap, ia menghampiriku dan meraih tanganku, "hubungan kita berakhir sampai disini", ucapku tegas, "maaf, aku bisa menjelaskan semuanya...", "menjelaskan bahwa kamu memang lelaki yang tidak bisa dipercaya? Menjelaskan bahwa kamu tidak pernah mencintaiku?", "aku sangat mencintaimu...", sebuah tamparan keras dariku mengenai pipinya. Ucapan cinta dari lelaki yang mengkhianati hubungannya hanyalah omong kosong, mencintai dua orang dalam satu waktu? Ah, membuatku semakin kesal. "Aku yang terlalu bodoh, terlambat menyadari bahwa hubungan itu seharusnya timbal balik. Aku sibuk memperjuangkan hubungan kita, dan kamu.. ah, sudahlah", ucapku sinis dan pergi meninggalkannya.
***
2 tahun kemudian....
Setelah kisah cintaku dengan Dimas selesai, rupanya butuh waktu yang lama agar bisa melupakannya. Aku tak bisa memungkiri jika dia sudah berhasil membuatku tenggelam dalam lautan cinta, namun ia juga membuatku sadar jatuh cinta sendirian juga bisa membuatmu terluka.
Aku terdiam cukup lama setelah Fahmi mengungkapkan perasaanya padaku, rupanya aku sudah salah paham selama ini. Mama berniat menjodohkanku dengannya, "maaf, tidak ada yang istimewa selain keindahan pantai dan senja hari ini. Aku tulus mencintaimu", ucap Fahmi sembari mengeluarkan sebuah cincin dari jaketnya, segera kuambil cincin tersebut "cincinnya cantik sekali", "aku bahkan belum mengatakan kata-kata romantis seperti orang-orang ketika melamar wanitanya", ucap Fahmi dengan wajah kesal yang dibuat-buat. "Tak perlu menjadi seperti orang-orang diluar sana, ini sudah lebih dari romantis", jelasku sembari memperlihatkan jemariku yang sudah dihiasi dengan cincin tadi, senyum pun terlukis diwajahnya dan segera mengecup keningku dengan lembut.
Benar kata orang, banyak kisah yang harus dilalui untuk mendapatkan akhir yang bahagia. Kisahku kembali berhenti di tempat yang sama, namun dengan orang yang berbeda.
Â
Perjalananku sudah selesai, bagaimana denganmu?
. THE END .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H