MATAHARI SELEPAS Asar masih berpijar, mengalahkan udara Oktober yang mestinya sejuk. Alih-alih gusar, perempuan bernama Susiani (37) membuka pintu samping untuk mengusir gerah. Senyumnya mengembang setelah menyambut kami. Dengan dua pintu terbuka, sepoi angin dari dahan pepohonan sekeliling dan pantai pun semilir mengalir.
Sejurus kemudian, perempuan lain yang lebih berumur, Fatimah (45), muncul dari dalam dengan dua piring berisi makanan dan air minum untuk dihidangkan.
"Monggo dicobi, sambal latoh khas sini," ujar Fatimah dalam bahasa Jawa halus dan Indonesia. Keramahannya membuat kunjungan kami pada Minggu (22/10/2023) sangat mengesankan.
Pangan lokal yang ramah lingkungan
Melihat saya dan teman agak kebingungan, Susiani bergegas duduk dan menjelaskan, "Latoh itu rumput laut kalau di sini, Mas. Silakan dimakan," tuturnya sambil tersenyum, lalu menambahkan bahwa makanan itu seluruhnya adalah pangan lokal.
Latoh dengan rasa krenyes-krenyes memang dipanen dari pesisir pantai sekitar, yakni Panduri (pantai pandan berduri). Sambal kelapa yang diracik dengan campuran mangga menciptakan sensasi pedas, manis, dan asam yang seimbang.
Semakin gurih karena dilengkapi dengan sepotong ikan pindang goreng hasil tangkapan nelayan setempat. Lalu segenggam nasi jagung halus (ampok/lempok) kian menyempurnakan menu sederhana yang lezat dan kaya gizi.
Tanpa disadari, menu yang kami santap sore itu telah mendukung gaya hidup berkelanjutan karena menikmati pangan lokal berarti efisiensi dalam mengurangi jarak tempuh transportasi.Â
Menurut J. Poore & T. Nemecek (2018), sebagaimana dikutip ourworldindata, sistem pangan berkontribusi 26% terhadap emisi gas rumah kaca secara global. Mulai dari penggunaan tanah, pemrosesan, transportasi, pengemasan, hingga distribusi.