Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Impulsive Buying dan Diderot Effect: Memang Butuh Promo atau Sekadar FOMO?

21 Maret 2024   13:19 Diperbarui: 1 April 2024   02:28 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waspadai godaan promo Ramadan yang bisa menjerumuskan. (Dokumentasi pribadi)

PAGI INI seorang teman blogger mengirimkan pesan di grup WhatsApp tentang digelarnya promo belanja Ramadan/lebaran di pendopo alun-alun kota. Sepertinya pas untuk diliput lalu ditulis sebagai artikel di Kompasiana, demikian usulnya.

Karena saya sibuk umbah-umbah alias mencuci baju segunung, saya pun urung melipir ke lokasi promosi belanja tersebut. Bukan tak menghargai informasi yang diberikan, tetapi saya merasa belum perlu belanja apa-apa sehingga takut waktu malah terbuang percuma. Selepas mencuci baju dan menjemurnya, saya lanjutkan dengan mengedit sekaligus menulis untuk blog di laptop.

Godaan promo yang menggiurkan

Godaan promo Ramadan atau lebaran memang masif tersebar, dan rata-rata terkesan sangat menggiurkan. Sebagai contoh, saya baca di layar ponsel tentang iklan sebuah lokapasar (marketplace) berwarna hijau. Kebanyakan terlihat begitu menguntungkan banget karena harganya murah padahal barangnya bagus. 

Atau bisa juga harganya normal tapi ada hadiah tambahan dengan barang unik yang sulit didapatkan. Kasus lain, harga dinaikkan sedikit tapi kita dapat paket belanja dengan iming-iming cashback poin yang bisa digunakan kemudian. 

Dan ada pula tawaran di beberapa lokapasar di mana item barang dipajang dengan harga lebih rendah dalam rentang waktu tertentu. Harga tinggi dicoret dengan harga baru yang lebih "memukau". Kalau jiwa dan pikiran tak dikendalikan, jangan heran bahwa mata bisa silau dan hati bisa galau. 

Hati-hati Impulsive buying

Kalau tidak mampu mengendalikan diri, bisa-bisa kita termakan oleh gencarnya promosi melalui media sosial ataupun aplikasi di gawai. Tampilan visual yang menarik, kemasan copywriting yang membuai, dan harga yang seolah sangat bersahabat sangat mungkin bisa menjerumuskan kita pada impulsive buying.

Mungkin kita pernah mengalami refleks belanja macam-macam tanpa rencana matang lalu barang yang kita beli akhirnya berakhir sebagai timbunan sampah yang tak memberi faedah? Tak perlu contoh yang besar, setingkat menu takjil berbuka saja kita bisa kalap. Lapar mata menghanguskan logika. Porsi makan normal kadang terabaikan oleh imajinasi kelezatan makanan sebab dibeli saat perut kosong.

Belanja karena kebutuhan atau impulsive buying? (Dokumentasi pribadi)
Belanja karena kebutuhan atau impulsive buying? (Dokumentasi pribadi)

Contoh lain: di aplikasi berbasis video yang terkenal dengan barang-barang unik yang dijual murah, tak jarang orang tergoda untuk membeli produk walau mungkin belum perlu. Misal beli baju atau daster supermurah padahal kualitasnya payah sehingga akhirnya terbuang jadi sampah. Atau perabotan berbahan plastik yang cepat rusak dan lagi-lagi teronggok sebagai limbah.

Kalau sudah begini, kita bukan cuma buang uang tetapi mempercepat laju sampah di muka bumi karena limbah yang susah terurai. Uang yang terlihat sedikit itu sebenarnya bisa kita tabung atau manfaatkan untuk donasi bagi mereka yang lebih membutuhkan. Ketimbang dibelanjakan untuk barang yang tidak benar-benar kita perlukan. Bukankah mubazir dan rugi jika berburu karena sekadar dorongan FOMO? 

Waspadai Diderot Effect

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun