Tak sampai sepekan, kita akan merayakan Idulfitri atau lebaran. Mengakhiri ibadah Ramadan dengan penuh kegembiraan sekaligus kesedihan. Gembira karena ekspektasi bisa kembali suci jiwa dan raga. Namun pada saat yang sama rasa sedih menggelayuti sebab berbagai peluang ibadah dan bonus pahala ikut melayang.
Sekuat apa pun hati meminta agar Ramadan dipertahankan, toh rembulan Syawal tetap akan terbit dengan segudang harapan. Harapan untuk diampuni dan membuka hari-hari ke depan dengan energi perubahan, tentunya ke arah yang lebih positif dan spirit kemenangan.
Metamorfosis ketakwaan
Sayangnya, tak sedikit kaum muslim terjebak pada perubahan fisik belaka, baik menurunnya berat badan berkat puasa Ramadan dan busana lebaran yang dalam kadar tertentu malah merepotkan.
Punya baju lebaran yang baru bukan larangan, tapi memaksakan semua serbabaru itulah yang berlebihan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tengah berantakan--setidaknya bagi sejumlah kalangan.
Alih-alih berkutat pada peralihan kemasan yakni baju lebaran, kita mestinya bisa lebih bijak dengan mengupayakan internalisasi nilai-nilai Ramadan dalam wujud ketakwaan dalam pengertian seluas-luasnya menurut kadar yang kita bisa.
Manajemen perilaku
Metamorfosis perilaku dan manajemen sikap haruslah menjadi prioritas sehingga apa pun yang kita lakukan atau putuskan jangan sampai berciri egosentris belaka dan malah memakan hak-hak orang tanpa kita sangka.
Sebaliknya, value sebagai mukmin harus maujud sebagai perangkat dan sistem yang bergerak otomatis dalam jiwa dan laku diri. Hanya dengan begini Ramadan akan meninggalkan energi positif yang awet dan senantiasa kita rindukan tahun demi tahun untuk kita perbarui dan tingkatkan.
Inspirasi baju lebaran
Saya sendiri tak menampik bahwa punya baju untuk dipakai saat lebaran merupakan hal istimewa kendati sekali lagi baju ini tak mesti khas dan dibeli seketika.