Memori kolektif kita tentang Candi Borobudur adalah kemegahan bangunan dan keindahan strukturnya sehingga diakui sebagai tujuh keajaiban dunia. Semua berubah ketika sebuah yayasan asal Swiss bernama New Open World Corporation (NOWC) memulai survei pada 2000 dan merilis 7 daftar keajaiban dunia yang baru pada tahun 2007 yang meliputi Tembok Raksasa Cina, Petra di Yordania, Colosseum di Italia, Chichen Itza di Meksiko, Machu Picchu di Peru, Taj Mahal di India, dan Christ The Redeemer  di Brazil. Â
Poling secara online dari 21 kandidat objek yang dikumpulkan itu rupanya menuai kritik dari publik dunia sebab organisasi yang diketuai Bernard Weber itu disinyalir hanya mendata tempat atau objek-objek yang sudah cukup populer dan dikenal banyak orang di dunia. UNESCO pun mengambil sikap tegas dengan menyatakan bahwa itu sepenuhnya penilaian pribadi dan UNESCO tak ingin dikaitkan dengan klaim yang dibuat oleh NOWC.Â
Sebagaimana diketahui, UNESCO berkomitmen mendorong agar negara-negara di seluruh dunia mampu mengidentifikasi, melindungi, dan melestarikan Warisan Dunia yang mereka miliki. Dal hal ini Candi Borobudur dari Indonesia tetap menjadi bagian dari World Heritage List yang versi UNESCO yang wajib mendapat perhatian serius sebab menyimpan kebudayaan yang kaya dan penuh makna baik secara tangible maupun intangible.
Sound of Borobudur angkat Indonesia kembali masyhur
Sebagai bagian dari Wonderful Indonesia, Candi Borobudur adalah salah satu monumen Budha terbesar di dunia, bukan hanya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Borobudur merepresentasikan budaya unggul yang tak kalah dibanding objek bersejarah yang dirilis oleh NOWC. Dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi pada Dinasti Syailendra, Candi Borobudur boleh dibilang sangat kaya sebab memiliki 1.460 relief dan 504 stupa dengan bentuk punden berundak yang terdiri dari 10 tingkat.Â
Ketinggian Candi Borobudur sekitar 50 meter menunjukkan kemegahan tersendiri, dengan lebar 112 meter dari sudut ke sudut. Yang paling unik tentu saja cerita-cerita spiritual dan moral yang tercetak di dinding setiap tingkatan Candi Bodobudur yang menggambarkan dunia, pengetahuan, dan kehidupan manusia. Nah, salah satu eksotisme relief di dinding candi adalah 10 panel relief Karmawibhangga yang menggambarkan adanya empat jenis alat musik, yaitu:
- Idiophone (kentongan dan kerincingan);
- Membraphone (gendang, kentingan);
- Chardophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek);
- Aerophone (alat musik tiup).
Maka jelas Borobudur bukan sekadar candi, tetapi juga sebuah mahakarya agung yang menyimpan berbagai ilmu pengetahuan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita untuk kita eksplorasi dan ejawantahkan pada kehidupan masa kini. Membaca relief-relief di Candi Borobudur bukan hanya menikmati keindahan yang tak lekang oleh zaman, tapi sekaligus meneropong potensi aplikasi pada segenap aspek kehidupan kita di masa mendatang.
Bermula dari foto-foto karya Kassian Cephas tentang Relief Karmawibhangga, diskusi pun bergulir antara Indro Kimpling Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, dan Redy Eko Prastyo untuk mengulik kekayaan instrumen musik Nusantara sebagaimana terpahat pada Relief Karmawibhangga yang cukup jelas bentuknya. Khazanah musik yang cukup kaya menunjukkan kemampuan luar biasa leluhur kita belasan abad yang lalu.
Setidaknya ada 226 relief alat musik jenis Aerophone (tiup), Cordophone (petik), Idiophone (pukul), dan Membraphone (bermembran) serta 45 relief ansambel di dinding candi. Ada yang masih bisa kita temukan di tanah Jawa, seperti kendang dan seruling tapi ada keunikan yang terjadi. Beberapa bentuk alat musik dawai dan alat musik tiup yang terpahat pada relief memiliki kesamaan bentuk dengan dengan alat musik di Kalimantan yang dimainkan oleh Suku Dayak.Â
Dari diskusi itulah tercetus ide untuk merekonstruksi dan menciptakan ulang seluruh alat musik menggunakan reinterpretasi dengan dunia kekinian. Lahirlah Sound of Borobudur movement sebagai sebuah spirit untuk melahirkan geliat dan upaya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai luhur yang terpahat dan tersirat di setiap bagan relief dan lekuk candi dalam bentuk seni yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyakat, baik di Indonesia maupun publik dunia.Â
Para penggagas dan musisi itu, antara lain Trie Utami, Dewa Budjana, dan Purwacara ka, sepenuhnya yakin bahwa Candi Borobudur bukan candi megah belaka, melainkan sebuah perpustakaan besar, yang menjadi sumber pengetahuan untuk dieksplorasi lebih jauh salah satunya lewat interpretasi seni. Nah, seluruh instrumen musik pada relief Candi Borobudur yang telah dibuat menurut penafsiran kekinian akan dimainkan dalam Sound of Borobudur Orchestra dengan harapan akan menyebarkan pesan ke seluruh dunia sebagai Duta Budaya Indonesia.Â