Samsul membaca dengan saksama, sesekali menyuarakan dengan lirih untuk mencari makna. Aswan hanya terdiam, kali duduk di sebuah batu kecil tak jauh dari tempatnya berdiri semula. Samsul mengangguk dan tersenyum, tampak mengerti apa yang Aswan sampaikan dalam puisi itu. Maklumlah keduanya sama-sama menyukai puisi sejak di SMA dan terus menggeluti dunia itu kendati keduanya kuliah di kampus berbeda.
"Kerinduan kepada ibunda tercinta pada saat bulan Ramadan di rantau memang sungguh menyakitkan. Mengerjakan semuanya serbasendiri: buka puasa dan sahur serta ritual Ramadan yang lain secara mandiri." Samsul akhirnya memecah kesunyian. Matahari kian benderang tapi belum terlalu terik.
"Iya, Sul. Keceriaan yang diwakili "lagu" atau "nyanyian" dalam puisi itu sudah sirna meninggalkan gairah hidupku. Tapi bukankah puasa adalah ibadah sunyi, toh hanya orang yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu? Pada saat merasa kesepian dan merindukan ibu, aku tersadar bahwa sebanyak apa pun Ramadan yang telah kulalui, nyatanya hatiku belum juga Ramadan---" suara Aswan menggantung.Â
"Aku paham, Wan. Aku pun sering merasa begitu. Aku merasa belum belum ada perubahan berarti dalam diriku, sesuatu yang menonjol untuk dibanggakan. Belum lagi kesalahan dan dosa yang malah berulang."
"Ramadan belum membekas dalam diriku, Sul. Ini seperti sebuah teriakan atau suara yang amat jauh dan tidak terdengar. Sekencang apa pun suara itu diletupkan, hanya terdengar lirih dan segera hilang. Ramadan datang silih berganti, tapi hatiku masih busuk dan iri. Seperti sekarang aku kotor dengan gelimang utang sehingga tak sanggup pulang."
"Aku mengerti, Wan. Kalau kau ingin pulang, kamu bisa pakai uangku. Ingat anak istrimu di kampung. Mereka menunggu kehadiranmu, bukan semata uangmu. Bagaimana pun, kejujuran lebih utama ketimbang merahasiakannya yang hanya akan menghancurkan dirimu sendiri--dan mungkin keluargamu. Mari pulang, pulanglah." Samsul tersenyum melihat sahabatnya berdiri.
"Aku sudah lama jauh dari Tuhan, Sul. Utang dan usaha yang  kugeluti rupanya sudah menjauhkanku dari kesejukan ibadah. Entah kapan aku terakhir sahalat, aku bahkan tak bisa mengingatnya. Apakaha masih ada...?"
"Tenang, Wan. Bersemangatlah menjemput ampunan Tuhan. Kalau kau berniat kembali, Tuhan akan menyambutmu. Aku sendiri bukan orang suci, tapi kita bisa belajar untuk membersihkan diri. Kalau kita merasa kotor, maka saatnya bersuci. Inilah saatnya memperbaiki rencana dan menyiapkan langkah."
Samsul melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul 8 pagi. "Ayo, Wan, ikut aku!" Samsul meraih pundak sahabatnya. Aswan mengikuti dengan langkah gontai tapi tak ada perlawanan. Di sebuah musala kecil, tak jauh dari pantai tempat mereka bercakap, suara air gemericik dari kran. Keduanya terlihat membasuh tangan dan wajah hingga merata.Â
"Saatnya berbenah, Sul. Kita ini lemah, ayo kenali kelemahan diri sendiri. Dengan cinta dan kerinduan pada ibu paling tidak itu membangkitkan semangat untuk berbuat kebaikan lagi, untuk menciptakan kebanggaan baginya dan untuk kebaikan dirimu sendiri."
Tak lama kemudian mereka terlihat merapatkan kening di atas sajadah ketika sebuah pelepah kelapa runtuh dan berdebum mengenai atap rumpia musala.