Janganlah merasa hina hanya karena gagal dalam usaha, lebih-lebih akibat penipuan yang tak kau sengaja. Tak perlu merasa paling menderita sebab masih ada keluarga tempat kau berpulang dan mencari cinta. Ramadan ini tahun kedua kita diliputi wabah, tapi yang lebih penting mari menjadikannya sebagai momen untuk menyayangai ibu yang sudah tua. Beliau selalu menanyakan dan mengkhawatirkanmu, tak hendak memarahimu walau tak tahu pasti berapa angka utangmu.
Ramadan bulan untuk bebersih, mari saling meringankan untuk membersihkan beban, baik fisik maupun mental. Jika esok kau tak datang untuk berlebaran, tak apa. Kumohon luangkan waktu untuk menelepon ibu walau sejenak sebab kau sebagai anak sulung selalu menjadi buah hatinya. Tak ada rasa iri atau rasa jengah padamu selain simpati mendalam agar badai ini segera berlalu.Â
Ingatlah keutuhan keluargamu, yang kau rajut belasan tahun lalu. Tetaplah menjadi sosok yang kuat dan peduli pada adik dan keluarga, juga kerabat, tanpa harus takut untuk sambat. Lebaran semoga jadi waktu untuk melebur segala beban dan tanggungan kendati kita masih tinggal berjauhan. Nanti saat wabah sudah enyah, mari sambung kembali dengan tatap muka. Bercerita sambil menyantap masakan ibu yang nikmat tiada tara. Sayur asem ikan gabus dan tahu campur, itu kan kesukaanmu? Sangat kuat ibu mengingatnya.
Bismillah kuakhiri surat ini, semoga keutamaan Ramadan memelukmu dengan kehangatan, semoga cahaya Lailatul Qadr mengenyahkan kabut yang membenani pikiranmu. Aaamiin.
Mohon maaf lahir dan batin, Mas.
Adikmu,
Isnaini Khomarudin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H