Akhir tahun 2015, sebuah panti yatim di daerah Sukasari Bogor terbakar cukup parah. Anak-anak terpaksa diungsikan ke cabang lainnya sambil menunggu panti yang kebakaran bisa kembali difungsikan.Â
Berita itu menyebar dari medsos, termasuk grup WhatsApp Bernas (Berbagi Nasi) Bogor. Komunitas kami segera bergerak untuk menggalang donasi.Â
Tak ada portal khusus untuk disambangi calon donatur, semua dikerjakan serbacepat, mengandalkan asas kepercayaan. Relawan menyebarkan pesan berantai agar menjadi hype dan membetot perhatian. Â
Singkat kata, bantuan kemudian berdatangan. Donasi bukan hanya dalam bentuk barang tetapi juga mengalir dalam bentuk uang. Yang tinggalnya dekat, uang langsung kami terima.Â
Sedangkan bagi mereka yang tinggal berjauhan, donasi kami terima melalui transfer. Uang dikirim langsung ke rekening salah satu relawan agar dana terkonsentrasi di sana.Â
Nah, salah satu donatur berasal dari Singapura, yang berkenan mengirimkan uang cukup besar untuk dibelikan seragam sekolah, perlengkapan sekolah, dan mushaf Al-Qur'an yang turut terbakar.
Relawan dikira penipu
Donasi kami terima dan segera dibelanjakan sesuai amanah. Tak lama setelah donasi disampaikan kepada pihak panti, bukti-bukti foto lantas kami kirimkan kepada donatur yang baik hati itu.Â
Ia berterima kasih karena mendapat kesempatan untuk menolong adik-adik di Indonesia yang pantinya kebakaran. Semua berjalan lancar sampai terjadi sebuah kesalahpahaman. Ya, akibat miskomunikasi hubungan donatur dan relawan sedikit rekak.Â
Kesalahpahaman itu dipicu oleh kiriman sebuah video kepada donatur tersebut. Seorang relawan mengirimkan sepotong tayangan berisi seorang lelaki yang berniat menjual ginjalnya seharga 1 M demi memenuhi kebutuhan, juga untuk mendukung kegiatan sosial. Â
Dari angka itulah masalah bermula. Relawan yang kemampuan berbahasa Inggrisnya terbatas tak mampu menjelaskan bahwa harga 1 M yang dimaksud adalah 1 miliar atau one billion dalam bahasa Inggris. Di sisi lain, sang donatur menganggap 1 M adalah 1 million alias satu juta rupiah.