Setiap kali mendengar frasa koleksi barang, seketika ingatanku terpaut pada seorang rekan kantor di Bogor belasan tahun lalu. Dia seorang ayah satu anak yang punya kegemaran mengoleksi action figure atau miniatur superhero yang mejeng dalam pose tertentu. Ada beberapa action figure yang ia pajang di meja lemari kerja karena ia seorang asisten supervisor yang punya ruangan khusus. Begitu tahu harga setiap action figure itu, mata saya melotot. Tak percaya tapi nyata walau jelas tak tertarik memilikinya.
Koleksi mahal itu saya bawa dalam percakapan bersama seorang teman saat menonton pertandingan sepak bola suatu malam. "Aku heran ya Bro kok ada orang yang repot-repot ngumpulin barang mahal tapi enggak ada gunanya. Temenku tuh ngumpulin action figure favoritnya padahal cuma dipajang aja di lemari." Melihatnya belum bereaksi, saya lanjut mencerocos, "Kayak kamu nih, dibetah-betahin melek sampe dini hari demi pertandingan sepak bola luar negeri padahal enggak dapat apa-apa. Mending tidur, jelas enaknya!" kata saya setengah protes.
Sambil memicingkan mata karena menahan kantuk, "Ya ga bisa gitu dong, Bro! Kamu suka baca buku kan? Emang kamu dapat dengan membaca buku?" sergahnya cepat.
"Ya jelas, aku terhibur dan mendapat pencerahan. Pokoknya asyiklah membaca tuh, banyak manfaatnya," saya berkilah pernah pertimbangan.
"Begitu juga dengan orang-orang yang kamu protes tadi. Ada yang suka ngumpulin karakter mini superhero atau nonton sepak bola manca ya karena mereka dapat sesuatu. Mereka senang walaupun kamu enggak tahu apa kesenangannya." Dia menjawab ringan dan saya hanya menganggukkan kepala. Â
Alasan tak mengoleksi barang
Saya spontan mendapat pemahaman bahwa saya telah keliru mengungkapkan keberatan itu. Betapa setiap orang punya kegembiraan dan ekstase sesuai minat dan preferensi pribadi. Hobi masing-masing orang tak mungkin saya intervensi sebagaimana kenikmatan mereka tak bisa saya definisikan. Saya pun mulai maklum ada orang yang mengoleksi album penyanyi favorit, lukisan supermahal, kamera canggih dan mahal, dan seterusnya.
Namun tetap saja saya tak tergerak untuk mengoleksi sesuatu. Ada beberapa alasan mengapa hingga kini saya tak menjadi kolektor apa pun. Kalaupun buku bisa disebut sebagai barang koleksi, jumlah buku di rumah kami pun tak banyak, hanya ratusan dan terus kami kurangi. Jika pun buku di rumah bertambah, biasanya bukan karena beli tetapi kiriman dari teman yang peduli dengan Saung Literasi--tempat saya dan istri mengabdi.
1 | Tak ada motivasi
Sependek pengetahuan saya, hanya prangko yang sempat saya koleksi. Ah, kata koleksi pun sebenarnya terlalu berlebihan karena saya bukanlah pegiat filateli. Saya hanya mengumpulkan prangko dalam negeri, hasil membeli atau dikirimi teman, itu pun jumlahnya sangat sangat terbatas. Jadi jelas tak memori khusus tentang koleksi barang yang bisa memantik saya untuk menjadikannya sebagai motivasi.
Orang-orang di kampung tempat saya lahir dan besar tak satu pun menekuni dunia koleksi. Tak ada persentuhan dengan aktivitas mengoleksi itulah yang membuat saya tak tergiur untuk menjadi kolektor barang apa pun saat tumbuh dewasa sampai kini.Â
2 | Teladan Nabi
Alasan kedua adalah teladan Nabi Muhammad Saw. Suatu hari beliau bergegas pulang selepas salam shalat Subuh. Para sahabat terheran-heran beliau tak duduk untuk berzikir seperti biasa. Beberapa saat kemudian beliau kembali ke masjid dan mengatakan bahwa ada hal mendesakn yang mesti ditangani. Waktu ditanya apa itu, beliau menjelaskan bahwa ada uang di bawah kasur yang belum sempat beliau sedekahkan.Â