Sistem birokrasi yang kaku sering kali menjadi hambatan dalam banyak organisasi dan pemerintahan. Meskipun dibuat untuk memberikan struktur, prosedur, dan kontrol yang jelas, namun terkadang sistem ini dapat menghambat inovasi, kreativitas, dan responsivitas terhadap perubahan. Salah satu masalah utama dari birokrasi yang kaku adalah ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Proses-proses yang rumit dan lambat seringkali membuat pengambilan keputusan menjadi tidak efisien. Selain itu, aturan yang kaku sering kali menghambat karyawan atau anggota organisasi untuk mengambil inisiatif atau berinovasi, karena takut melanggar aturan atau prosedur yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, permasalahan sistem birokrasi yang kaku telah mendapat respon dari pemerintah. Sejak tahun 1998, reformasi birokrasi telah di gaungkan hingga saat ini, dibuktikan dengan hadirnya berbagai Undang-Undang yang mengatur reformasi mulai dari UU tentang pelayanan publik No 25 Tahun 2009, Permenpan RB No 11 Tahun 2015 yang menjadi landasan untuk melakukan reformasi di dalam sistem birokrasi dengan memfokuskan upaya pada tiga sasaran guna menciptakan lingkungan birokrasi yang lebih transparan, efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, hingga reformasi birokrasi masuk kedalam RPJMN tahun 2020-2024 dengan fokus mengupayakan pembuatan aturan kerja yang lebih ringkas, menyusutkan prosedur birokrasi yang berbelit-belit, serta menyederhanakan struktur hirarki dalam sistem administrasi (Wibowo, 2022).
Namun permasalahannya walaupun sudah ada peraturan yang mengikat, tetap saja implementasi dari peraturan tersebut belum bisa memperbaiki kualitas dan kinerja pelayan publik (Haning, 2018). Melihat dari kenyataan yang ada, reformasi birokrasi yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya mampu mengatasi inti dari masalah. Meskipun telah ada undang-undang yang menata reformasi, implementasinya masih terkendala oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Budaya yang terlanjur terbentuk dalam struktur birokrasi yang kaku sulit diubah dengan cepat. Para pegawai yang sudah terbiasa dengan sistem konvensional cenderung menemui kesulitan dalam mengadopsi perubahan, terutama dalam hal inovasi dan kreativitas.
Selain itu, peran pemimpin dalam mendorong perubahan juga masih menjadi persoalan. Pola pikir yang belum optimal dalam memahami esensi pelayanan kepada masyarakat menjadi penghambat utama. Di tengah upaya modernisasi, kebutuhan akan kecepatan, efisiensi, dan responsivitas terhadap perubahan masih belum sepenuhnya terakomodasi. Keterbatasan ini tidak hanya berdampak pada kualitas pelayanan publik, tetapi juga merusak citra birokrasi di mata masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan kurang optimalnya reformasi birokrasi adalah pola pikir serta komitmen pemimpin. Pola pikir yang kurang menekankan peran sebagai pelayan masyarakat, cenderung bersikap otoriter, yang mengakibatkan lambannya pelayanan, kompleksitas prosedur, dan munculnya budaya korupsi. Di samping itu, perubahan yang seharusnya dimulai dari kepemimpinan untuk menunjukkan komitmen terhadap pelayanan juga belum berubah, seperti penggunaan metode modern dalam pelayanan, penyederhanaan prosedur, dan percepatan layanan publik (HumasMenpan, 2021)
Keberadaan sistem birokrasi yang kaku menciptakan budaya baru di kalangan birokrat. Budaya ini dapat mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap proses pelayanan publik yang lambat. Seiring berjalannya waktu, stigma negatif terhadap pemerintah pun muncul. Penurunan tingkat kepercayaan masyarakat memicu sikap negatif dan ketidakpatuhan terhadap peraturan. Beberapa birokrat mungkin mengabaikan integritas, memunculkan anggapan bahwa uang diperlukan untuk mempercepat proses. Meskipun tidak semua birokrat demikian, fenomena ini muncul akibat kurangnya integritas di kalangan mereka. Akibatnya, masyarakat kehilangan motivasi untuk mengurus dokumen dan layanan publik.
Situasi saat ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat enggan terlibat dalam proses pelayanan yang rumit. Birokrasi dianggap sebagai penghambat, menciptakan masalah baru bagi yang ingin di proses dengan cepat, pada  akhirnya beberapa orang memilih membayar agar diprioritaskan. Ironisnya, kebutuhan akan uang melibatkan semua orang, menciptakan paradoks di mana siapa pun pasti menginginkan uang. Dari sini, timbul permasalahan suap, meskipun telah diatur dalam UUD No. 20 tahun 2021 tentang tindak pidana korupsi. Selain upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik juga membawa potensi masalah baru.
Meskipun oleh UU Tahun 2007 No 17 tentang RPJMN 2005-2025 telah mengalami perubahan guna meningkatkan sistem birokrasi, tampaknya ketidakpedulian di kalangan birokrat terhadap perubahan tersebut masih menjadi permasalahan yang signifikan. Meski seharusnya perubahan ini diresapi dengan komitmen dan kepedulian, kenyataannya, penggunaan sistem birokrasi yang kaku masih berlangsung. Patologi ketidakpedulian ini, pada gilirannya, melahirkan praktik-praktik KKN seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang secara tidak langsung merugikan pemerintahan itu sendiri.
Keberlanjutan penggunaan sistem birokrasi yang kaku menunjukkan adanya resistensi atau ketidakpedulian dari pihak birokrat terhadap perubahan yang diamanatkan oleh UU Tahun 2007 No 17 tentang RPJMN 2005-2025. Seandainya mereka benar-benar peduli terhadap efektivitas dan transparansi birokrasi, maka tindakan perubahan yang lebih progresif seharusnya diambil untuk menghentikan praktik-praktik birokrasi yang kaku. Dalam konteks ini, patologi ketidakpedulian tidak hanya bersifat internal bagi birokrasi, tetapi juga membawa dampak eksternal yang merugikan, khususnya terkait dengan praktik KKN. Oleh karena itu, penting untuk menanggapi ketidakpedulian dalam birokrasi dengan serius, mengimplementasikan perubahan yang lebih substansial, dan meningkatkan sistem pengawasan guna menciptakan birokrasi yang responsif, transparan, dan bebas dari praktik-praktik KKN.
Adapun langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu sebagai berikut:
Pengawasan Ketat terhadap Birokrat: tujuannya adalah untuk mencegah adanya pelanggaran etika, proses penghambatan dalam pelayanan publik, serta meminimalkan risiko tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pendekatan holistik ini mengacu pada pengawasan yang efektif, sambil memberi ruang bagi kreativitas dan efisiensi dalam layanan publik, yang harus meningkatkan kualitas dan keterjangkauan layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Kesadaran Masyarakat: Kampanye informasi dan edukasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan pengertian akan hak mereka terhadap layanan berkualitas, dan menekankan kebutuhan untuk menuntut pelayanan yang mendesak tanpa hambatan. Melalui mekanisme pengaduan dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait pelayanan publik, akan meningkatkan akuntabilitas birokrasi.