Yuyun. Empat huruf yang membentuk nama seorang anak perempuan berusia 14 tahun, di mana ia meninggal karena diperkosa 14 pemuda tanggung belum dewasa, hingga tewas. Terjadi bulan Mei 2016, kasus ini sempat sunyi dari perhatian publik, mungkin karena tempat kejadian jauh dari keramaian ibukota, jauh dari paparan media massa dan jejaring sosial, tepatnya di sebuah desa kecil pelosok Rejang Lebong, Bengkulu. Yuyun diperkosa, dibuang ke dasar jurang, mayatnya ditemukan tewas membusuk, dalam keadaan nyaris tanpa busana. Ah, sungguhkah itu masih manusia pelakunya?
Tentu kita tidak akan pernah lupa dengan kasus Angeline. Pertengahan tahun 2015, mayatnya ditemukan terkubur di belakang rumah orangtua angkatnya sendiri, dalam keadaan membusuk tertutup sampah di bawah pohon pisang. Ternyata ibu angkatnya sendirilah, Margriet, yang menjadi dalang utama di balik tewasnya Angeline. Tapi mungkin Angeline lebih baik meninggalkan dunia yang terlalu jahat baginya. Semasa hidup, Angeline kerap menerima perlakuan kasar dari ibunya yang temperamental, juga memiliki rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi anak usia delapan tahun. Belum genap 10 tahun usianya, Angeline meregang nyawa.
Masih di bulan yang sama dengan kasus Yuyun, masyarakat kembali terhenyak dengan berita tewasnya seorang karyawan pabrik cantik, Enno Farihah. Enno ditemukan terbujur kaku di kamar kostnya, dengan gagang cangkul menembus kemaluannya. Entah setan apa yang berkelana di pikiran ketiga pelaku, sehingga tanpa rasa belas kasihan menghujamkan batang tumpul alat bertani itu. Ah, sudahlah. Sungguh merinding hanya dengan membayangkannya. Kasus Enno inilah bukti nyata, di mana rasa cemburu bisa menghilangkan nyawa.
Ada lagi cerita tentang Sentot Yuniarto, pelaku sodomi keponakannya sendiri dari Kediri. Cerita Sentot memang tidak seterkenal tiga kisah pilu di atas, namun kronologi kejahatannya sungguh menyesakkan dada. Korban bernama AH, bocah lelaki berusia 2,5 tahun. Dia disodomi, dibanting, dan juga dianiaya dengan cara dimasukkan obeng dan solder ke duburnya. Duhai, Tuhan. Sungguh banyak iblis dan setan memakai topeng, mengaku manusia.
Banyak lagi kejadian-kejadian yang tak kalah tragis, tragedi kemanusiaan yang lagi-lagi, melibatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa kekerasan dan pelecehan terhadap anak saban tahunnya meningkat 100%, baik dari pelaku maupun korban. Dari bulan Januari-April 2016 saja, tercatat 298 kasus, meningkat sebanyak 15% dari tahun 2015. Dari angka tersebut, ada 24 kasus di mana anak sebagai pelaku kekerasan fisik. Anak juga berperan sebagai pelaku dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan dan sodomi mencapai 36 kasus.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan tahun 2016, menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola meluas, di mana kekerasan tidak hanya terjadi pada ranah domestik alias rumah tangga saja, tetapi juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan negara. Komnas Perempuan membagi persoalan perempuan kepada 3 wilayah, yaitu ranah Kekerasan Personal (KDRT), Kekerasan Komunitas (pelecehan dan kekerasan seksual), dan ranah Negara (negara membiarkan peristiwa pelanggaran HAM terhadap perempuan, seperti kasus pemalsuan akta nikah).
Menyikapi maraknya kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meluncurkan program baru yang disebut dengan Three Ends. Program ini mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu:
1) Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak;
2) Akhiri perdagangan manusia;
3) Akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.
Lalu, jika pemerintah sudah berupaya meminimalisasi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan meluncurkan rangkaian program unggulan, bagaimana seharusnya masyarakat bertindak?