Kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, seperti empat contoh kasus di atas, adalah fenomena gunung es. Padahal banyak kasus lain yang luput dari perhatian dan tenggelam tidak pernah diliput media. Sebenanrnya korban bukanlah satu-satunya korban. Kita ambil kasus Yuyun sebagai pembahasan. Pelaku juga sesungguhnya adalah korban. Pelaku juga adalah korban dari lingkaran setan, lingkaran kriminalitas ditambah terjerat dengan rantai kemiskinan.
Pelaku kasus Yuyun semuanya adalah pemuda putus sekolah, hingga menghabiskan waktu mereka dengan tindakan negatif; mabuk-mabukan dan pesta narkoba. Kondisi keluarga dan lingkungan yang semrawut, ditambah pembiaran dari aparat pemerintah, menjadikan persoalan yang begitu kompleks.
Kasus-kasus kejahatan ini menyalakan sinyal bahaya untuk kita semua. Korban dibayangi dengan trauma seumur hidup atau bahkan kematian tragis. Pelaku yang notabene bahkan masih di bawah umur, akrab dengan narkoba dan minuman keras yang membuat mereka menjadi hilang akal.
Banyak juga yang menyebutkan, bahwa kadangkala korban (dalam hal ini perempuan) adalah biang masalah. Seakan tidak cukup menjadi korban, masih dituding sebagai orang yang salah. Pihak yang antipati kadangkala menegaskan bahwa perempuan tidaklah selayaknya mengundang nafsu pria. Mungkin inilah yang terjadi pada kasus Enno, di mana dia menjalin hubungan, kepada lebih dari satu orang lelaki. Padahal dalam kasus Yuyun, korban sama sekali tidak mengundang nafsu. Yuyun pulang sekolah, berpakaian sebagaimana mestinya anak sekolah, melewati rute biasa setiap harinya. Jelas, kita tidak bisa menyalahkan perempuan sebagai penyebab tragedi kemanusiaan ini.
Tapi pada kasus Angeline, rasa empati kita sebagai manusia dipertanyakan. Masyakat sekitar selayaknya sudah mengetahui, kerapkali mendengar teriakan Angeline, melihat perlakuan tidak manusiawi dari Margriet. Tapi, kenapa diam saja? Mengapa saat Angeline sudah berpulang, baru sibuk menanyakan dan berbagi cerita?
Kita juga tidak bisa abai dengan kasus Margriet dan Sentot Yuniarto. Kedua-duanya adalah orang dekat korban. Jelas, pepatah yang menyebutkan ‘harap berhati-hati dengan orang yang tidak dikenal’ mulai tidak berlaku. Pelaku kejahatan, predator-predator itu, ternyata juga berasal dari lingkungan terdekat korban.
Pemerintah memiliki PR yang teramat berat, dan tentu tidak bisa bergerak sendirian. Three Ends, program unggulan sudah diluncurkan, tetapi tetap membutuhkan bantuan dari berbagai lini masyarakat. Pelaku harus dihukum berat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai masyarakat sudah mendesak agar pelaku diadili, tapi ketika kasus dihadapkan dengan majelis hakim, hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding. Munculkan deterrent effect, efek jera yang kuat, agar masyarakat mengambil hikmah dari kasus-kasus tersebut.
Keluarga juga memegang peranan yang amat penting. Banyak kejahatan seksual sekarang memiliki motif-motif yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pengaruh teknologi yang demikian gencar dituding sebagai penyebab utama. Karena itu, penggunaan gadget memang harus benar-benar diawasi. Pemberian gadget mungkin patut dipertimbangkan, apakah memang benar-benar memerlukan atau sekedar ikut trend belaka? Perlu diciptakanbounding yang kuat antara anak dan orangtua, agar mereka merasa terlindungi dan enggan berbuat negatif. Tak lupa, perbanyak aktivitas keagamaan dalam rumah dan selalu dukung anak dalam kegiatan-kegiatan positif.
Masyarakat sebagai lingkungan terdekat, juga harus meningkatkan kepekaan jika ada tingkah laku yang mencurigakan, berkaca dari kasus Angeline. Seandainya ada potensi kekerasan, segera laporkan. Jangan lagi kita terlalu abai dan enggan, hingga harus menunggu korban berjatuhan.
Perjalanan memanusiakan manusia ini memang teramat berat. Jika hanya keluarga yang bertindak, tanpa ada dukungan dari pemerintah dan masyarkat, tentu tidak ada hasilnya. Pun sebaliknya. Tapi, saya teringat sebuah pepatah lama dari seorang kawan, “Sebelum kita menyakiti seorang perempuan, bisakah bayangkan ibu kita disakiti seperti itu? Apa kita tega?”
Tabik!