Mohon tunggu...
Isnaeni
Isnaeni Mohon Tunggu... Guru - Belajar dengan menulis.

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahagianya Tukang Gorengan ketika Anaknya Kuliah

18 November 2024   21:58 Diperbarui: 18 November 2024   22:28 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sekolah tempat saya bekerja, ada seorang ibu yang berjualan gorengan di samping pagar sekolah. Ibu tersebut memiliki seorang anak yang baru saja lulus SMA terbuka dan sempat saya ajar ketika SMP. Kita sebut saja namanya Udin. Mereka berjualan di hari-hari kerja, karena selain anak-anak sekolah, konsumennya terdiri dari para pekerja di perusahaan yang ada di sekitar sekolah. 

Setelah mengenal beliau beberapa tahun, ibu tersebut kehilangan suami karena meninggal. Sehingga dari tiga anaknya, satu sudah berkeluarga, kedua si Udin dan adiknya yang masih kelas 5 SD. Untuk tetap bertahan hidup dan membiayai anaknya, ibu si Udin ini rela meninggalkan rumahnya dan berjualan di dekat sekolah kami menjual gorengan seperti bala-bala, goreng tempe dan lainnya. 

Dari ketiga anaknya, si Udin inilah yang lulus SMA, karena si Udin juga anak laki-laki satu-satunya. Saya sering mengobrol dengan ibu dan anak tersebut, berbagi cerita hidup dan pengalaman. Sering Saya membagikan cerita pengalaman saya dalam meniti karir di sekolah yang dimulai dari nol. Ternyata bukan saya saja yang berbagi cerita dengan keluarga ini, tapi juga guru yang lain. Mereka mendorong si Udin ini untuk mendaftar kuliah, baik yang gratis maupun yang berbayar.

Sebagaimana pengalaman yang sudah saya alami, berkuliah di Universitas Terbuka merupakan pilihan bagi orang-orang yang sudah sibuk bekerja. Tidak ada tatap muka dan tidak ada skripsi, ujian dilakukan di hari minggu sehingga orang sekitar tidak tahu bahwa kita kuliah. Dari segi legalitas, kuliah di UT yang merupakan universitas negeri tidak usah diragukan lagi. 

Bagi ibu Si Udin, Si Udin merupakan penolong dirinya ketika berdagang di hari kerja. Sehingga pilihan kuliah di tempat gratis tidaklah menarik, tetapi tempat kuliah yang memungkinkan si Udin masih bisa membantu aktifitas dirinya berdagang. Dan Saya sering mendorong si Udin untuk kuliah di UT dengan pertimbangan-pertimbangan. Dengan mengobrol dengan ibunya si Udin ini terlihat adanya keinginan agar anaknya bisa kuliah.

Karena niat untuk kuliahnya penuh pertimbangan sehingga si Udin ini telat untuk daftar. Karena di UT ada dua kali pendaftaran, maka Ia disarankan untuk daftar di waktu yang akan datang. Selama beberapa bulan sebelum daftar ini digunakan si Udin untuk mempelajari cara pendaftarannya dan jurusan yang akan diambilnya.

Selama mengobrol, Ibunya si Udin sering mengeluhkan biaya yang harus dikeluarkan, Saya yakinkan bahwa kuliah di UT bisa disesuaikan dengan kemampuan berdasarkan SKS yang diambi, hanya saja Saya yang lulusan tahun 2006 di UT tentunya merasa tidak faham dengan sistem perkuliahan di UT. Untungnya ada rekan di Tata Usaha sekolah yang faham karena sedang kuliah juga di UT dan bersedia membantu si Udin untuk registrasi.

Ibu Si Udin ini sudah lama berjualan di pinggir lapangan bola di samping sekolah. Mendiang suaminya dulu bekerja di perusahaan peternakan, namun kondisi kesehatannya menurun dan ikut membantu istrinya berjualan. Dan akhirnya beliau meninggal dunia meninggalkan si Udin yang masih kelas 9 SMP. Keberadaan warung tersebut sangat membantu orang-orang yang lalu lalang yang memerlukan makanan untuk sekedar sarapan atau istirahat. 

Keberadaan warung tersebut yang jauh dari rumah penduduk, menyebabkan warung sering dikunjungi maling yang oleh Ibunya si Udin sudah mencapai 23 kali. Makanya bila sudah sore, barang-barang yang berharga biasanya dibawa ke rumah atau dititipkan di rumah saudaranya. Pernah satu kali, warung Ibu si Udin ini terbakar dengan alasan yang kurang masuk akal di malam hari. Kemudian beliau membangun kembali warung tersebut dan berdagang seperti biasa.

Setelah si Udin terdaftar sebagai seorang mahasiswa, Ibu Si Udin terlihat bahagia, dan ternyata keluarga besarnya ada yang jadi guru juga. Hanya mungkin si Udin dan Ibunya perlu ada yang mendorong dan memberikan motivasi untuk mengkuliahkan anaknya. Walaupun perjalanan masih panjang, setidaknya si Udin sudah mulai belajar melangkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun