Setiap hari adalah perjuanganku menaklukkan rasa cemas. Aku tahu persis awal mula gangguan kecemasan ini mulai mengakrabiku. Di suatu waktu, ketidakberuntungan menghampiriku dalam bentuk kecelakaan lalu lintas. Aku, entah bagaimana ceritanya bangun dengan keadaan sebelah kaki sudah diamputasi. Ketika membuka mata, yang pertama kali kutangkap adalah senyuman ibu. Meski begitu, mata ibu tidak bisa berbohong. Ada luka turut bersarang di tatapannya yang sayu.
"Tidak apa-apa, ya, Mas?" Suara parau ibu masih bisa kudengar meskipun samar-samar.
Aku hanya mengangguk. Perasaanku saja yang tidak bisa terjelaskan. Tapi, melihat ibu begitu tenang, aku percaya semua akan baik-baik saja. Meskipun akhirnya, aku menyadari telah kehilangan banyak hal setelah kejadian ini. Pekerjaan, teman-teman, bahkan tunangan yang sebentar lagi aku nikahi. Hanya ibu satu-satunya penguatku.
Hari-hari berat telah terlewat. Kini aku bisa kembali beraktivitas meski dengan keterbatasan fisik. Pekerjaan impian yang sempat kujalani sudah kurelakan lenyap. Sekarang aku hanyalah pria yang menyibukkan diri di dapur. Membuka usaha katering bersama ibu. Tidak masalah bagiku. Yang jadi masalah adalah aku hampir tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar. Aku hanya di rumah, memasak dan membantu ibu mengemasi pesanan pelanggan. Selebihnya, ibu yang mengurus semuanya. Aku mulai disergap rasa hampa. Perasaan itu sepertinya sampai juga kepada ibu. Ibu paham akan situasi yang kuhadapi saat ini.
Aku ingin sekali menghirup udara di luaran sana. Bertemu dengan orang-orang dan bertukar cerita. Apalah daya, rasa khawatir akan penolakan atas kehadiranku lebih besar dari apa pun. Aku sadar telah membatasi duniaku sendiri. Konsekuensi dari itu semua adalah suwung yang berkepanjangan.
Pernah suatu kali aku sudah ada niatan untuk keluar rumah. Sekadar pergi ke toko buku. Sudah siap, tinggal pesan ojek online, berangkat. Tapi akhirnya kuurungkan. Mendadak dadaku berdebar tidak karuan. Cemas tanpa alasan yang jelas. Kemudian, aku berganti pakaian lagi, memilih mendengarkan musik sebagai penetralisir perasaanku.
***
Seorang perempuan muda datang ke rumah mengambil pesanan katering. Saat itu ibu sudah tidak ada di rumah. Ibu pergi mengaji bersama rombongan pengajiannya pagi-pagi tadi. Aku gugup menghadapi situasi ini. Padahal sebatas interaksi antara penjual dan pembeli. Namun bagiku, hal demikian membuatku ketakutan. Untuk membukakan pintu saja, aku butuh mengumpulkan keberanian. Tadinya mau pura-pura tidak dengar saja, supaya perempuan muda itu mengira rumahku kosong. Tapi tidak mungkin, kan? Akan dibilang apa katering ibuku nanti? Akhirnya aku menemui perempuan muda itu. Berharap ia tidak melihat bulir keringat yang merintik di dahiku karena gugup.
Aku mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Sepanjang hari setelah menyerahkan pesanan kepada perempuan muda tadi, aku didera rasa takut. Takut kalau kemudian ibu kehilangan pelanggan lantaran mengetahui bahwa 'pegawainya' ternyata cacat. Aku tahu mungkin ini tidak ada relasinya dan tidak masuk di akal. Namun, pikiran-pikiran demikian terus mengikutiku dan membuatku merasa bersalah. Selanjutnya aku memilih mengurung diri saja di kamar. Dan perlahan kehampaan kian mengerubung perasaanku.
Tidak ada yang bisa kulakukan. Niatan untuk tidur pun hanya sebatas ingin. Mata susah terpejam. Aku membuka laptop, mencari inspirasi desain untuk mengalihkan debar di dadaku. Tidak berhasil. Pikiranku masih berkeliaran tidak fokus. Aku mencoba menulis saja. Tetapi tulisanku ini tidak ada isi. Aku bingung mau melakukan apa lagi. Tidak ada gairah apalagi ambisi. Rasanya kosong sekali. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sendirinya.