Seks dan Gender
Lanjut ke materi. Mbak Fitria dan Mbak Indiah memberi pemaparan tentang perbedaan seks dengan gender. Seks merupakan jenis kelamin biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan atau bisa dikatakan sebagai kodrat Tuhan. Sedangkan gender merupakan jenis kelamin sosial yang terbentuk dari masyarakat atau budaya dari generasi ke generasi.
Sebenarnya banyak kesamaan antara perempuan dan laki-laki, hanya biologis atau fisik saja yang membedakan. Untuk memahami persoalan gender ini, Mbak Indiah menceritakan sebuah kasus dimana seorang sekretaris ditinggal pasangannya berdinas keluar kota. Sebelum pergi ke kantor, dia harus mempersiapkan segala kebutuhannya sendiri juga kebutuhan sang anak. Karena sekretaris ini tidak dapat mengemudikan kendaraan, dia memanfaatkan transportasi umum untuk sampai di kantor. Tidak jarang, dia terlambat masuk kantor. Konsekuensi dari itu, sekretaris ini harus rela mendengar bosnya marah-marah, “Pak Bambang! Anda terlambat lagi!!”. Aku agak loading sebenernya. Tapi, begitu sadar kalau sekretaris ini ternyata seorang laki-laki, aku menyadari satu hal. Yaps, konstruksi sosial masih sangat melekat di bayanganku. Aku dan temen-temen terkecoh. Bayang-bayang seorang sekretaris, mengurus anak, sampai tidak bisa mengendarai kendaraan, biasanya sangat lekat dengan perempuan. Namun, pada kasus ini, sangat bisa terjadi pada laki-laki, dan itu tidak apa-apa, sah-sah saja.
Satu kasus lagi yang diceritakan oleh Mbak Indiah. Cerita ini sangat mengganggu perasaanku. Tidak tahu mengapa demikian. Haha. Jadi, waktu itu Mbak Indiah naik travel dari Semarang mau balik ke Jogja. Bertemu dengan seorang perempuan yang mau balik ke Magelang –kalau tidak salah ingat-. Singkat cerita, Mbak Indiah mengetahui kalau perempuan ini di Semarang bekerja sebagai ART. Mbak Indiah bertanya-tanya, karena perempuan ini masih muda dan masih seumuran anak-anak sekolah. Dibalik kenyataan itu ternyata perempuan ini dari keluarga kurang mampu. Dia punya kakak laki-laki. Waktu itu lulus bareng, dia lulus SD, kakaknya lulus SMP. Oleh orangtuanya, perempuan ini diminta mengalah, biar salah satu saja yang melanjutkan pendidikan. Dengan alasan nantinya laki-laki bakal menjadi kepala rumah tangga di keluarganya, dan perempuan ini dianggap hanya akan mengikuti suaminya kelak, maka kakak laki-lakinyalah yang kemudian melanjutkan pendidikan. Harapannya, biar bisa menunjang karir kakaknya kelak. Semenjak itu, perempuan ini mulai bantu-bantu saudaranya berjualan sampai dia menjadi ART.
Lebih lanjut lagi, kakak laki-lakinya akhirnya menikah dan masih tinggal bersama orangtuanya. Kakak laki-lakinya ini memilih jalan karirnya sebagai pebisnis, buka usaha bengkel di rumah. Menurut pengakuan si perempuan ini, bengkel itu tidak ramai. Kemudian Mbak Indiah bertanya lagi, bagaimana memenuhi kebutuhan seharu-hari? Perempuan itu menjawab, dialah yang menghidupi. Transfer uang setiap bulan untuk orangtuanya juga keluarga kakaknya. Cerita di atas mengaduk perasaanku. Sekali lagi, tidak tahu mengapa.
Namun, dari kedua kisah tadi, bayang-bayang tentang konstruksi gender dan ketidakadilan gender yang sebelumnya tidak kusadari, seolah diperlihatkan langsung di depan mata. Dan itu juga membantuku lebih mudah untuk memahami bagaimana konstruksi gender dan ketidakadilan gender ini terjadi di lingkungan sekitar. Masih sangat melekat label-label yang sebenarnya buatan manusia itu dianggap sebagai kodrat.
Istilah konstruksi gender sendiri ada karena dibentuk, diajarkan, dan disosialisasikan secara berulang-ulang. Seperti sisi maskulin dan sisi feminin. Keduanya adalah kualitas atau penampilan yang bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Kita bisa memiliki sisi keduanya sekaligus dan sifatnya netral. Yang terjadi di lapangan, biasanya maskulin disimbolkan sebagai kejantanan, laki-laki dan feminin disimbolkan sebagai kelembutan, perempuan.
Relasi Kuasa
Sesi selanjutnya mempelajari tentang relasi kuasa. Proses di sesi ini membuatku jadi lebih ‘melek’ karena dikemas dengan cara yang menarik. Jadi, Mbak Fitri dan Mbak Indiah membagikan sebuah ID Card. Di ID Card sudah tertulis jenis kelamin, usia, dan berbagai macam profesi. Permainannya adalah, Mbak Fitri atau Mbak Indiah membacakan sebuah pernyataan stigma. Kemudian, peserta diminta membayangkan seolah sedang berada di situasi kondisi yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Jika pernyataan yang dibacakan sesuai dengan stigma masyarakat pada umumnya, maka peserta akan memperoleh ikatan tali rafia.
Aku sendiri mendapat ID Card dengan jenis kelamin laki-laki berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai PNS. Dari belasan pernyataan yang dibacakan oleh Mbak Fitri dan Mbak Indiah, tidak satu pun ikatan rafia mampir di aku. Dan terlihat jelas, ikatan rafia lebih banyak mampir ke perempuan. Hal itu membuktikan bahwa jenis kelamin, usia, dan profesi berpengaruh terhadap kekuasaan. Sayangnya, dampak yang ditimbulkan juga lebih banyak didapat perempuan. Yaps, budaya patriaki, dibangun dengan cara laki-laki atau terpusat pada cara pandang laki-laki.