Teruntuk Tuan yang hadir dalam hitungan 48 jam di hidupku.
Tuan, katakan kepadaku, apakah aku harus tertawa atau terluka? Mengingat perkenalanku denganmu membuat hatiku kelu. Tapi tak mengapa, aku percaya Tuhan punya maksud lain untuk itu.
Melalui surat ini, Tuan, aku ingin menyampaikan sebuah rasa yang diam-diam menyelinap dan ternyata betah-betah saja di hatiku. Pun sampai detik ini, dimana ketika melamunkanmu saja, degubku berantakan. Entahlah. Tiba-tiba saja seperti itu.
Rasa itu ingin kusebut cinta, tapi kurasa kurang tepat. Mungkin hanya perasaan rindu yang kian hari kian tak keruan saja kurasakan. Aku bisa apa selain tunduk dengan takdir Tuhan, Tuan?
Aku ingin mengakui sesuatu. Jika kau ingin tau, aku telah melakukan kesalahan di 24 jam pertama pertemuan kita. Kesalahan itu adalah: aku berharap bisa memilikimu. Lalu, di 24 jam kedua pertemuan kita, kesalahan itu sengaja kubuat lebih besar lagi. Aku ingin menghabiskan jatah hidupku yang mungkin pendek ini bersamamu. Dan aku sangat berharap kamu memiliki keinginan yang sama persis sepertiku. Tapi ternyata tidak. Kamu justru lenyap, lengkap dengan kontak-kontak yang terhubung denganku sebelumnya.
Tuan, sebelum kamu bosan membaca surat ini, biarlah kuakhiri saja sampai di sini. Terima kasih untuk pertemuan yang pendek kala itu. Aku menemukan sisi lain dari diriku. Benar katamu, bahwa "manusia akan menemukan titik terendahnya, dan seketika itu mestinya manusia menyadari, Tuhan sedang menunjukkan rasa cintaNya kepada mereka."
Aku percaya...
Terima kasih Tu(h)an.
Dari aku,
yang diam-diam menjadikanmu bahan 'tawar-menawar' dengan Tuhan di sepertiga malam.
Dari aku,
yang di hari kedua pertemuan kita, mentraktirmu secangkir kopi dengan voucher diskonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H