Berangkat dari sebuah kegelisahan, Kenapa ya pertanian di Pekalongan kalah pamor sama dagang online? Atau memang anak muda kita lebih suka farming di ponsel ketimbang bergelut dengan lumpur dan ditemani kerbau atau traktor?
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat meminta salah seorang kawan untuk merespon sebuah tulisan yang saya buat tentang "Pandangan Wong Ndeso Terhadap Berkurangnya Lahan Persawahan". Dalam tulisan yang saya buat tersebut, ada beberapa indikator yang mempengaruhi lahan persawahan disekitar kita berkurang.
Pertama, adanya revolusi industri yang mengakibatkan masifnya pembangunan untuk berbagai kepentingan (mulai dari pabrik hingga pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pasar dan lainnya). Kedua, generasi z dan milenial yang kurang minat untuk bekerja di sektor pertanian, karena dianggap kuno, harus panas-panasan, dan beranggapan bahwa kerja kantoran memiliki jenjang karir yang lebih baik.
Ketiga, jumlah populasi manusia per tahun mengalami peningkatan sehingga kebutuhan akan tempat tinggal meningkat, alhasil lahan persawahan yang ada disulap menjadi perumahan dan Indekos. Dan Keempat, adanya pengaruh alam terlebih krisis iklim yang melanda seluruh dunia menyebabkan kekeringan, yang kemudian berimbas pada aktivitas pertanian.
Minat Generasi Z dan Milenial dalam Bertani Rendah
Dari empat alasan yang saya buat, kawan saya memberikan sebuah respon menarik "Agak menggelitik sih ketika orang Pekalongan kehilangan minat untuk bertani, Ya wajar daerah Pantura kebanyakan pembangunan." Memang jika diamati, hal tersebut benar adanya, dapat dibandingkan dengan daerah selatan seperti Banjarnegara, Wonosobo hingga Jogja, masyarakat disana mayoritas cenderung memilih mengelola lahan dan sawah mereka.
Selain itu, kurangnya minat di sektor pertanian masih begitu rendah di wilayah Pantura khususnya di Pekalongan. Ya, karena masyarakat Pantura lebih memilih untuk berdagang dan menjadi karyawan swasta. Jarang banget yang mempelajari dan menggali sektor pertanian, padahal pertanian menjadi salah satu sektor penting di negara agraris.
Ada konsep terkait pertanian yang cukup menarik yaitu dengan menerapkan Konsep Lumbung Mataraman di Yogyakarta. Dikutip dari Website resmi Dinas Pertanian dan Pangan Pemerintah Kota Yogyakarta dijelaskan bahwa Lumbung mataraman merupakan suatu konsep pertanian terpadu. Konsep ini diwujudkan secara nyata di Joglo Tani yang berlokasi di daerah Seyegan, Sleman.
Sedangkan Joglo Tani sendiri merupakan rumah belajar bagi petani dan masyarakat umum yang ingin menerapkan prinsip ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Selain itu, gagasan dibawa oleh TO Suprapto (Sekalu inisiator Lumbung Mataraman) disebut Gerbang Mapan Istimewa, yang terbagi menjadi tiga semboyan yakni Hamemayu Hayuning Bawono, Sangkan Paraning Dumadi, dan Manunggaling Kawulo Gusti.
Perlu Adanya Terobosan dan Inovasi
Sepanjang yang saya amati, pertanian di wilayah Pantura masih sederhana. Misalnya, ada petani yang memiliki lahan, lahan tersebut hanya digunakan untuk menanam padi atau sayuran saja. Belum muncul ide atau konsep untuk  menggunakan Pertanian Terpadu.
Fyi, Pertanian terpadu merupakan sistem integrasi pertanian yang menggabungkan beberapa sektor, seperti pertanian, peternakan dan sektor lain (perkebunan, perikanan, dan kehutanan) sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan konservasi lingkungan.