PENDAHULUAN
Bertolak dari sejarahnya, multikulturalisme di Prancis disinyalir terjadi pada masa pasca PD II. Prancis kekurangan banyak tenaga kerja, sehingga banyak imigran (terutama dari Afrika) datang ke Prancis untuk mencari pekerjaan. Tidak sedikit dari imigran membawa keluarga mereka dan menetap di Prancis. Sebagian besar dari imigran itu berasal dari ras negroid dan beragama Islam. Keberagaman yang terjadi akibat proses imigrasi menjadikan Prancis sebuah negara multikultur. Untuk lebih memahami definisi multikulturalisme, mengutip Bikhu Parekh dalam bukunya Rethinking Multiculturalism, multikulturalisme adalah keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Dalam proses pelekatan ini dibutuhkan toleransi untuk menerima kelompok lain sebagai suatu kesatuan dengan melepaskan dinding-dinding perbedaan (2008: 15).
Seiring berjalannya waktu jumlah imigran semakin bertambah, sehingga menjadi suatu wacana penting di Prancis karena keberadaannya mempengaruh aspek-aspek krusial pada negara ini, seperti sosial, politik, dan budaya. Bentrokan budaya seperti tindak rasis penduduk asli terhadap imigran terjadi sedari kedatangan mereka hingga saat ini. Kesenjangan sosial antara penduduk setempat dan imigran menimbulkan gesekan sosial yang berujung konflik dalam hubungan keduanya, seperti serangan terhadap tempat tinggal imigran (banlieu) dan tindak rasis lainnya. Masalah ini juga terjadi dalam politik, partai ekstrim kanan yang cenderung nasionalis bersikap xenophobia. Mereka menolak imigran karena dianggap mengganggu stabilitas masyarakat Prancis. Masalah xenophobia bukanlah hal baru di Prancis. Ketakutan akan pendatang sudah menjadi momok bagi sebagian masyarakat Prancis. Nicholas Sarkozy, mantan presiden Prancis adalah satu contoh nyata anti-imigran. Masalah xenophobia ini kemudian berkembang menjadi Islamofobia, salah satu bentuk rasis pada minoritas di Prancis. Masalah ini akan dipaparkan lebih mendetail pada bagian isi.
Kondisi multikultural ini membuat adanya integrasi sebagai hal yang tidak dapat dihindari. Proses integrasi antara imigran dan penduduk asli kerapkali berujung konflik dan alienasi. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pemahaman mendalam pada identitas untuk memupuk rasa toleransi.
Tulisan ini akan memaparkan mengenai identitas menurut teori identitas Stuart Hall. Dari banyaknya kasus diskriminasi terhadap minoritas, konsep identitas yang dibahas adalah persoalan imigran perempuan muslim maghribi. Demikian dipaparkan karena keempat faktor itu (imigran, perempuan, muslim, dan maghribi) dianggap merepresentasikan minoritas. Diharapkan agar tulisan ini memberikan gambaran singkat mengenai Islamofobia, identitas kaum imigran perempuan muslim maghribi, kasus diskriminasi pada sekelompok identitas yang paling terdiskriminasi di Prancis, dan memberikan refleksi pada Indonesia sebagai negara multikultur.
KERANGKA TEORI
Katherine Woodward dalam bukunya Identity and DIfference menjelaskan bahwa Identitas adalah gagasan yang diberikan perihal konsep individu, sehingga asal-usul seseorang dapat diketahui. Identitas berasal dari banyak aspek seperti kebangsaan, etnis, ras, strata sosial, jenis kelamin, dan gender. Pembahasan Stuart Hall pada buku yang sama dijelaskan bahwa identitas bersifat tidak tetap dan selalu berubah. Identitas tidak dapat dilepaskan dari representasi karena proses representasilah yang memiliki pengaruh tidak langsung dalam pembentukkan identitas. Menurut Hall, identitas terbagi menjadi dua yaitu, being dan becoming. Being atau disebut juga dengan self-subjectivity adalah identitas yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri. Sementara itu, becoming adalah refleksi identitasnya pada situasi sosial sekitarnya. Idenfifikasi ini akan mengarah pada justifikasi identitas pada lingkungan sosialnya, yang disebut interpelasi.
Hall juga mengatakan selain identitas sebagai self-subjectivity, identitas juga mengalami proses diferensiasi. Proses pembedaan individu dengan lingkungan sekitarnya seperti dalam fase mirror stade dalam teori Lacanian. Diferensiasi membuat individu paham dengan adanya the Other (outsiders) yang dapat membawa pengaruh negatif dan positif seperti dua keping mata uang. Di satu sisi, diferensiasi menjadi sumber keragaman, heterogenitas, dan hibdrida. Sementara di sisi lain, diferensiasi membawa pada stereotip rasis. Proses diferensiasi inilah yang akan membawa konsep identitas, self, dan Others pada identifikasi. Proses identifikasi ini terjadi dalam lingkungan sosial yang ditandai dengan adanya deliberasi identitas. Konflik dan alienasi tidak dapat dihindari dalam proses ini.
Hall juga menyatakan konsep identitas sebagai solidaritas sosial. Identitas tidak dilihat dari perspektif individu saja, namun dibawa ke satuan yang lebih besar sebagai aktor sosial: grup/kelompok, bangsa, atau negara. Dalam proses pembentukan identitas sebagai solidaritas sosial dibutuhkan adanya konfrontasi ide-ide terkait identitas rasial, nasional, dan kewarganegaraan sebagai bagian dari negara. Penanaman hal ini dapat dilakukan melalui teknologi komunikatif seperti radio, film, dan televisi yang bertujuan untuk membentuk solidarias nasional. (1999: 51-59)
ISI
Pada bagian isi, pemaparan akan dibagi dalam dua bab besar, yakni: Islamofobia sebagai suatu tantangan multikulturalisme di Prancis, dan pemaparan identitas dan representasi sosial kaum imigran perempuan muslim maghribi di Prancis.
Islamofobia di Prancis
Pemaparan Islamofobia di Prancis dibagi dalam tiga bagian. Pertama, bahasan terkait faktor yang menyebabkan terjadinya Islamofobia di Prancis. Kedua, pemaparan mengenai tindak diskriminasi imigran, perempuan, muslim, dan maghribi di Prancis sebagai pandangan posisi minoritas pada kaum yang mendapat identitas sosial keempatnya. Ketiga, pemaparan sehubungan kasus kesulitan mencari pekerjaan pada imigran perempuan muslim maghribi di Prancis sebagai salah satu contoh diskriminasi terkait Islamofobia.
- Latar belakang terjadinya Islamofobia
Secara garis besar, ada dua faktor utama yang melatarbelakangi munculnya Islamofobia di Eropa. Pertama, pemahaman orientalisme barat yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengarah pada perspektif subordinasi non-barat. Lalu, adanya tragedi 11 September 2001 di WTC yang memicu ketakutan berlebih pada terorisme yang dikaitkan dengan stereotip muslim.
Untuk elaborasi poin pertama dimulai pada sisi historis Eropa pada abad ke-18 dan ke-19 di mana pada era negara-negara Eropa berlomba untuk mengumpulkan negara koloni. Kolonialisasi yang mengarah pada negara-negara timur menyebabkan implikasi dan transfigurasi nyata terhadap perspektif barat pada timur (non-barat), dalam hal ini termasuk pada Islam (yang dianggap berasal dari timur). Secara tidak langsung, adanya superioritas negara Eropa yang menyatakan bahwa identitas wilayah timur (dalam hal ini termasuk muslim) adalah primitif, uncivilized, barbar, irasional, dan ditempelkan nilai-nilai yang inferior dibanding negara Eropa. Paham subordinasi barat ini berdampak jelas pada rasisnya masyarakat Eropa terhadap sesuatu di luar barat.
Jika dikaitkan dengan konsep 'the Other', timur diandaikan sebagai 'the Other' dan barat sebagai 'the Self' di mana budaya timur tidak memiliki kesamaan nilai budaya dengan barat. Bahkan, non-barat dapat dikategorikan sebagai "radical Other". Seperti tertulis pada publikasi The Rudymede trust, sebuah badan NGO di UK pada tahun 1997 bahwa nilai budaya timur dinyatakan tidak memiliki pengaruh pada budaya barat. Asumsi ini didukung oleh teori bentrokan budaya oleh Samuel Hutington pada tahun 1996 menyatakan bahwa kebudayaan Eropa berakar pada "Judeo-christian" yang menjadi identitas. Hal ini menyebabkan Islam dan Arab yang hidup di Eropa menjadi sebuah ancaman, dilihat baik dari nilai tradisi, identitas, dan keamanan. Hal nyata terjadi dalam dunia politik Eropa di mana golongan ekstrim kanan cenderung xenofobia bahkan Islamofobia, contoh pada Jean-Marie Le Pen dan Nicholas Sarkozy dari Prancis.
Superioritas Eropa menyebabkan mental masyarakat yang sulit menerima adanya perbedaan, sehingga masyarakat cenderung rasis dan menolak adanya integrasi dengan 'yang bukan barat'. Hal ini jugalah yang menjelaskan terjadinya xenofobia pada sebagian besar masyarakat Eropa. Ketakutan akan orang luar disinyalir akibat eksklusivitas 'barat', sehingga timbullah antipati tinggi pada non-barat. Sebagai akibatnya, timbul miskonsepsi yang mengarah pada sterotip-stereotip negatif bermunculan seiring dengan sikap rasis masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada abad ke-19 di mana tingkat imigran asing meningkat pesat di Eropa. Adanya diskriminasi dan rasisme terhadap warna kulit menjadi fokus pada masa itu. Eropa melihat orang kulit hitam sebagai 'budak', 'tidak berpendidikan, lebih rendah dari orang kulit putih.
Seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan, ketakutan akan pendatang (terutama kaum imigran) atau yang dikenal dengan xenophobia ada di Prancis dan berkembang menjadi Islamofobia pasca tragedi WTC. Tragedi 11 September 2001 membangkitkan rasa takut berlebihan pada terorisme yang diasosiasikan dengan Islam, sehingga menyebabkan alienasi pada kaum muslim dalam segala bidang dari pekerjaan, pendidikan, dan rumah tangga. Menurut data Eurospheres, Islamofobia semakin meningkat pada lima tahun terakhir ini.
Islamofobia juga ditandai dengan adanya dibuatnya "La Loi Contre La Burqa" oleh Jean-François Cope, Presiden UMP (Union pour Un Mouvement Populaire), pada 11 April 2011 dalam Assemblé Nationale. RUU ini kemudian disahkan oleh dewan dan dinyatakan adanya pelarangan pemakaian burqo di tempat umum. Tidak hanya di Prancis, di Swiss terjadi pelarangan pembangunan mesjid yang disuarakan oleh generasi muda. 7 Juli 2005 terjadi pengeboman yang menewaskan 53 orang di London, pelaku adalah pemuda muslim Inggris. Demonstrasi ini sampai ke Prancis, mahasiswa menolak adanya pembangunan masjid sembari mengangkat tingi-tinggi tulisan bahwa mereka mendukung Le Pen dengan gerakan nasionalisme ekstrim kanan. Berikut diperlihatkan salah satu contoh demo yang menyatakan dukungan pada Le Pen sebagai gambaran Islamofobia yang terjadi di Prancis.
Di saat yang bersamaan, Nicolas Sarkozy mengesahkan putusan mengenai pelarangan penuh pemakaian burqo pada 21 April 2011. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial antara penduduk asli>< imigran, penduduk asli>ghetto dan banyak tempat tinggal mereka terletak di Paris Arr.19 yang dikenal dengan daerah dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Masalah kausalitas antara tingkat kesejahteraan imigran yang rendah dan kriminalitas merupakan masalaih lain, dari sterotip negatif itu kita melihat bahwa integrasi multikultural kembali dipertanyakan statusnya.
- Diskriminasi terhadap imigran, perempuan, muslim, dan maghribi
Diskriminasi dipaparkan fokus pada empat aspek identitas itu karena posisi kaum itulah yang berada paling minor dari tingkatan sosial masyarakat Prancis. Hal ini didukung dari informasi dari UNICEF bahwa sejak tahun 1982, 46% dari populasi imigran adalah perempuan. Pada tahun 2004, perempuan adalah mayoritas imigran yang berdiam di Prancis lebih dari 30 tahun. Pada 2006, 60% ijin hunian dari imigran Afrika adalah milik perempuan. Didukung data INSEE pada tahun 2005 juga bahwa imigran perempuan kebanyakan adalah maghribi. Berdasarkan data itu terlihat kaum imigran perempuan muslim maghribi berada dalam posisi tertinggi. Ironisnya, mereka juga lah yang menempati posisi tersulit dalam proses integrasi multikultural.
Berdasarkan The Polish Institute International Affairs yang mengutip data dari Eurobarometer, diskriminasi terhadap Islam bertambah parah dari tahun ke tahun. Islamofobia menjadi isu serius dalam multikulturalisme di Prancis. Data terbaru menyatakan bahwa Prancis (66%) adalah negara dengan tingkat diskriminasi paling tinggi, kemudian disusul oleh Belgia (60%), Swedia (58%), Denmark (54%), Belanda (51%), dan Inggris (50%). Dibandingkan dengan tahun 2009, terlihat peningkatan signifikan di tahun ini pada Prancis (66%) dan Belgia (60%). Persentase itu naik 30% dibandingkan tahun 2011, dan naik hampir lima kali lipat dibandingkan 1992.
Hal ini menjawab status integrasi multikultural di bagian sebelumnya. Identifikasi sosial memang terkadang menimbulkan konflik seperti tindak diskriminasi. Untuk itu, bagian ini akan mengelaborasi diskriminasi yang terjadi di Prancis pada kaum imigran, kaum perempuan, kaum maghribi, dan kaum muslim, sehingga memperjelas posisi subordinat yang memojokkan bagi 'kaum imigran perempuan muslim maghribi' untuk hidup dan bertahan di Prancis agar menjadi refleksi dalam multikulturalisme di Prancis. Perempuan direpresi dari segi agama untuk memakai burqa, namun dari segi sosial juga merepresinya untuk tidak menunjukkan identitas keagamaannya di ruang publik.
Pemaparan mengenai diskriminasi ini akan dimulai dengan diskriminasi muslim yang memang berkaitan dengan perempuan, maghribi, dan imigran. Islamofobia yang terjadi di Prancis membuat diskriminasi terhadap kaum muslim terjadi dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan domestik. Stereotip dan prejudice terkait Islam seperti perempuan dengan hijab dan burqa tidak diperbolehkan bekerja. Bahkan pada beberapa kasus yang terjadi pada tahun 2004, adanya beberapa penyerangan pada perempuan yang menggunakan burqo dan niqab di ruang publik. Perempuan yang lebih muda tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruang kelas karena problema yang serupa. Perlakuan ini didasari pada UU Laïcité yang meniadakan simbol agama di ruang publik justru berujung pada diskriminasi dalam prakteknya. Tidak hanya pada perempuan, laki-kali dengan wajah dipenuhi janggut diasosiasikan dengan teroris karena beragama Islam (seorang muslim). Diskriminasi juga terjadi pada perempuan mengingat subordinasinya dari laki-laki. Diskriminasi terlihat jelas dalam bidang pekerjaan bahwa adanya kesenjangan upah pekerja perempuan dan laki-laki. Bahwasanya, perempuan mendapat upah 25% lebih rendah dari laki-laki terlepas dari apapun bidang pekerjaannya. Tidak hanya upah, kesempatan pekerjaan paruh waktu juga lebih banyak bagi perempuan mengingat perempuan juga harus mengurusi urusan rumah tangganya. Selain itu, masalah hukum prostitusi yang dianggap merugikan perempuan. Hal itu juga menjadi indikasi adanya diskriminasi pada kaum perempuan.
- Diskriminasi imigran perempuan muslim maghribi dalam bidang pekerjaaan
Diskriminasi dalam bidang pekerjaan menjadi perhatian karena berhubungan erat dengan kesejahteraan hidup individu. Pekerjaan adalah sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan finansial. Hal itulah yang mendasari pembahasan akan diperdalam pada diskriminasi dalam bidang pekerjaan. Namun sebelum masuk pada analisis identitas imigran perempuan muslim maghribi, penting untuk diingat bahwa sebagian besar dari imigran berasal dari maghribi, perempuan, dan beragama muslim.
Melihat pemaparan di atas, diskriminasi paling banyak yang terjadi pada imigran perempuan muslim maghribi adalah dalam sektor pekerjaan. Oleh karena itu, berikut akan dipaparkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jean-François Amadieu dari Université Paris-Sorbonne 1 mengenai diskriminasi nyata yang memperkuat posisi imigran perempuan muslim maghribi sebagai kaum yang teralienasi dan mendapatkan perlakuan diskriminasi berdasarkan identitias yang terdapat pada dirinya. Amadieu membuktikan dalam penelitiannya bahwa tingkat diskriminasi pada pencarian pekerjaan berbasis kompetensi (yang mana wajar), namun pertimbangan berikutnya fokus pada gender. Kesempatan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan lebih sedikit. Bukti ini memperkuat argumen pada pemaparan sebelumnya. Tidak dipungkiri bahwa domisili sang pelamar pekerjaan menentukan kesempatannya dalam dunia pekerjaan. Kewarganegaraan Prancis bertempat tinggal di banlieu akan menuai pertimbangan lebih pada perusahaan mengingat posibiltas jika ia adalah keturunan seorang imigran. Di samping itu, faktor warna kulit (ras) juga mempengaruhi tingkat kesulitan mencari pekerjaan di Prancis. Orang kulit hitam (negroid) lebih sulit mendapatkan pekerjaan daripada orang kulit putih (kaukasoid).
Penelitan berikutnya datang dari Marie-Anne Valford yang bekerjasama dengan Calire L. Adida dan David D. Laitin yang mengidentifikasi diskriminasi dalam bidang ekonomi yang dialami muslim di Prancis (terutama imigran). Ketiga orang ini melakukan dua penelitian. Keduanya berkaitan dengan diskriminasi perempuan muslim dalam bidang ekonomi. Kedua penelitian itu dilakukan pada 5 Maret 2013 dan 20 Desember 2012. Hasil penelitian dikemukakan bahwa kaum imigran muslim mengalami kesulitan dalam proses asimilasi (sulit untuk lepas dari komunitasnya dan cenderung menolak identifikasi dengan budaya setempat). Sementara itu, hasil penelitian lainnya membuktikan bahwa adanya indikasi nama muslim seperti 'Khadijah', 'Aboubacar', 'Mohammad' lebih sedikit mendapat panggilan kembali setelah pengiriman CV. Perbandingan ini dilihat dari nama kandidat "Marie Diouf" sebagai keturunan Senegal-Prancis Kristen, dan "Khadijah Diouf" dengan nama muslim. Kedua nama itu bersaing dengan kandidat "Aurélie Menard" yang terdengar asli Prancis, tanpa diketahui agamanya. Persaingan antara ketiganya menempatkan Khadijah pada posisi terbawah, sementara Marie dan Aurélie berada pada posisi yang sama. Perbandingan antara Aurélie. Marie, dan Khadijah adalah 4: 4: 1. Setiap 100 panggilan pekerjaan yang diterima Aurélie dan Marie, Khadijah hanya menerima 30 panggilan. Perempuan muslim dianggap tidak wajib untuk bekerja karena akan diurusi oleh keluarga mereka. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya peluang perempuan muslim mendapatkan pekerjaan di Prancis.
Melihat pemaparan di atas, keragaman budaya dan isu nasionalisme di Prancis perlu ditelaah kembali mengingat integrasi yang gagal dalam proses multikulturalisme. Untuk menelaah lebih jauh diskriminasi yang terjadi, bab berikutnya akan membahas identitas dan representasi sosial berdasarkan teori Stuart Hall dengan tujuan agar keadaan sosial masyarakat multikultur yang ideal dapat terintegrasi, dan pemahaman mengenai identitas multikultur dapat dimengerti lebih baik.
Analisis Identitas dan Representasi Sosial
Identitas adalah 'produksi' yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses, selalu dikembangkan dari dalam (interpelasi), bukan dari luar (representasi). Hall menjelaskan bahwa identitas kultural bersifat kolektif. Identitas ini ada ada dari identifikasi berbasis pada sejarah dan leluhur yang sama (Hall, 51). Hall membagi identitas sebagai tiga kesatuan besar, yaitu: identitas sebagai subjektivitas, identitas sosial dan konsep 'the Other', dan identitas negara sebagai solidaritas sosial yang dianggap dapat menjadi solusi terhadap diskriminasi imigran perempuan muslim maghribi ini. Penting untuk diingat bahwa dalam identitas budaya, pemaparan identitas ini hanya untuk memberikan gambaran posisi subordinat imigran perempuan muslim maghribi, sebagai esensi. Identifikasi menuju identitas sebagai solidaritas sosial lah yang dianggap ''positioning" dalam proses integrasi. Hal itu dapat mengurangi konflik dan alineasi dalam isu multikulturalisme. Berikut akan dipaparkan identitas imigran perempuan muslim maghribi berdasarkan teori identitias Hall.
Identitas sebagai subjektivitas (self-identity)
Seperti disebutkan dalam kerangka teori, Hall membagi identitas sebagai subjektivitas dalam dua bagian yaitu: being dan becoming. Dalam kasus diskriminasi imigran perempuan muslim maghribi, ada empat identitas berbeda yang terlihat dari imigran, perempuan, muslim, dan maghribi. Keempat identitas itu dapat dilihat sebagai satuan identitas sebagai satuan self-identity.
Identitas perempuan digolongkan sebagai identitas seksual di mana individu memahami positioning sosialnya di masyarakat yang bertolak pada kesadaran psikis dan mental terhadap jenis kelamin dan gendernya. Pada konsep being, proses interpelasi terjadi karena adanya diferensiasi perempuan sebagai 'self' dengan laki-laki sebagai 'Others'. Perbedaan yang ada membuat perempuan menyadari adanya diferensiasi. Sehingga, perempuan sudah menuntut hak yang sama sejak masa Revolution Sexuelle pada Mei 1968. Identitas perempuan di sini mengalami perubahan signifikan dari pergerakkannya yang terbatas pada bidang domestik, menjadi setara dengan laki-laki. Proses becoming juga terpapar jelas dalam proses pembentukkan being. Representasi sosial perempuan saat ini merupakan bukti nyata identitas yang bersifat tidak stagnan. Jika dihubungkan dengan kasus diskriminasi yang dipaparkan dalam tulisan ini, perempuan telah menyadari identitasnya dan memutuskan untuk masuk dalam proses deliberasi identitas. Perempuan mempertanyakan kembali posisinya dalam bidang pekerjaan dengan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Hal ini terlihat dalam demo pada tahun 2003 yang mendukung pergerakan perempuan pekerja muslim. Demo ini memerangi diskriminasi atas stereotip perempuan berdomisili di daerah ghetto.
Berikutnya mengenai identitas religius, identitas religius adalah identitas yangberkaitan dengan iman seseorang. Identitas religius seseorang biasanya pada tahap being adalah perihal dirinya dengan kepercayaannya dengan konsep ketuhanan. Namun pada posisi becoming, agama saling terikat dengan tradisi keagamaan yang membuat ritual keagamaan tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat. Sebagai contoh, bagi sebagian orang identitas religiusnya merupakan masalah pribadi; dirinya dengan imannya. Namun sebagai seorang aktor sosial, ia harus menjalankan perannya sebagai identitas terkait agama yang dipercayainya. Ia harus terikat dengan aturan keagamaan yang dibentuk dan menjalankan ritual keagamaan itu. Misalnya, pada kaum perempuan muslim di Prancis. Dalam tahapan being, agama hanya problematika iman pribadi masing-masing. Konflik justru timbul ketika adanya identifikasi dalam deliberasi identitas. Saat perempuan muslim diwajibkan memakai burqa atau niqob menurut agama mereka. Identitas religius mereka diuji baik dalam proses interpelasi dan deliberasi ini. Konflik makin runcing ketika identitas religius mereka harus bertabrakkan dengan identitas nasional mereka di mana Prancis melarang adanya pemakaian burqo dan niqab berdasarkan UU Laïcité. Pada tahapan ini, perempuan muslim mengalami krisis identitas. Positioning tidak dapat dilakukan, begitu juga proses deliberasi. Sehingga, konflik dan alienasi tidak dapat terhindarkan bagi perempuan muslim terkait identitas religius mereka yang berkaitan erat dengan identitas nasionalnya itu.
Sementara itu, identitas nasional adalah identitas sebagai bagian dari negara terkait, dalam hal ini adalah Prancis. Identitas nasional mungkin bukan jadi pertanyaan bagi penduduk asli Prancis, namun ini menjadi persoalan besar bagi kebanyakan generasi ketiga imigran di Prancis. Selalu timbul pro dan kontra mengenai identitas mereka. Generasi ketiga imigran Prancis adalah orang-orang yang lahir dan besar di Prancis, namun berasal dari keturunan imigran. Sebagian penduduk asli yang tidak mampu berintegrasi menyatakan bahwa generasi ketiga bukanlah bagian dari penduduk asli Prancis, mereka tetaplah menyandang status imigran. Namun secara hukum, identitas nasional mereka adalah penduduk Prancis. Hal ini disimpulkan demikian dari definisi KBBI, warga negara adalah penduduk negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, yang menjalani kewajiban sebagai warga negara. Adanya konflik dalam proses deliberasi sosial ini menyebabkan being dan becoming generasi ketiga menjadi tumpang tindih. Dalam being, para imigran merasa mereka adalah warga negara Prancis, namun hal berbeda dirasakan dari situasi sosialnya yang 'mayoritas' tidak menerima mereka sebagai 'warga negara Prancis'. Hal ini menyebabkan becoming para generasi ketiga imigran ini berada pada krisis identitas, sehingga berpengaruh pada proses interpelasi, dan menggoyahkan being mereka yang tadinya warga negara. Para imigran ini mempertanyakan kembali identitas nasional mereka dalam positioning-nya di masyarakat.
Identitas ras berkaitan erat dengan identitas nasional terkait problematika generasi ketiga imigran. Imigran maghribi merupakan persentase terbesar dari keseluruhan imigran yang menetap di Prancis. Daerah imigran ini dikenal dengan banlieu mempengaruhi being dan becoming generasi ketiga imigran. Identitas maghribi dalam being dan becoming mendapat posisi subordinat dalam perannya di lingkungan sosial. Representasi ghetto atau daerah banlieu lekat dengan faktor murahnya sewa tempat tinggal, rendahnya tingkat keamanan, dan ketidaknyamanan daerah pemukiman imigran. Hal ini mempengaruhi identitas becoming maghribi yang diidentifikasi sebagai kaum kelas bawah dengan tingkat 'pendidikan' rendah, status finansial yang juga rendah, dan cenderung kriminal. Representasi ini mempengaruhi being maghribi yang tidak terlepas dari tiga karakter itu yang tentunya membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Justifikasi itu membentuk identitas para maghribi itu, sehingga kaum maghribi berada dalam posisi krisis mempengaruhi tidak berjalannya proses integrasi.
Adanya diferensiasi, perbedaan identitas baik dari rasial, religius, nasionalisme, dan gender, mengarah pada proses identifikasi. Identifikasi ini membentuk representasi sosial dengan adanya deliberasi identitas yang menyebabkan konflik dan alienasi sesuai dengan teori Hall. Pada keeempat identitas itu dapat dilihat adanya pencarian 'unified sense' dari konsep 'self' melalui sistem simbol yang berlaku di masyarakat. Hal ini nampak dari becoming dan representasi sosial tiap identitas. Positioning yang melibatkan identitas sebagai self-subjectivity dan memahami adanya konsep self dan Others ini memperlihatkan identitas multikultural prancis yang merupakan satuan kolektif dari banyaknya self dan Others. Pemaparan ini juga membuktikan bahwa adanya 'produksi' identitas yang tidak berhenti. Krisis identitas yang dialami tiap identitas adalah bukti adanya identifikasi dan interpelasi itu sendiri.
Identitas negara sebagai solidaritas sosial
Sebenarnya keempat identitas ini tidak dapat terpisahkan dalam suatu konsep kelompok sosial. Identitas perempuan, imigran, muslim, dan maghribi adalah bagian dari identitas multikultural Prancis. Keempat identitas itu berbasis identifikasi sejarah dan budaya yang sama, sehingga positioning masing-masing identitas mengarah pada sebuah identitas negara dengan cakupan kolektif yang lepas dari individu.
Pentingnya solidaritas sosial dalam proses integrasi itu sendiri dapat dijadikan solusi dari krisis identitias yang dialaskan pada perspektif individu. Identitas sebagai basis untuk solidaritas sosial memperlihatkan formasi yang membutukan hubungan manusia dengan teritorinya. Adanya dinamika situasi geografis diperlihatkan sebagai satu alasan identitas negara ini menjadi perhatian lebih. Identitas multikultural Prancis memfokuskan pada solusi alternatif konflik dan alienasi pada eksplorasi 'rasa saling memiliki' sebagai identitas yang tinggal di wilayah yang sama. Masalah diskriminasi imigran perempuan muslim maghribi dapat dilihat dari sudut pandang lebih luas. Bahwasanya, identitas kaum itu adalah kesatuan identitas masyarakat multikultur Prancis. Hal ini meruntuhkan semua batasan identitas dalam satuan pribadi, sehingga tindakan opresi pun berkurang.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa positioning sebuah identitas budaya didasarkan pada sejarah dan budaya yang sama, begitu pula konsep identitas sebagai solidaritas sosial. Identitas multikultural Prancis harus menyadari bahwa adanya identifikasi diaspora di mana toleransi membentuk identitas yang berdasar pada daerah geografis. hal ini mengarah pada solusi alternatif, sehingga identitas bukan lagi masalah determinasi atas dasar self-subjectivity. Dengan pemahaman ini, masyarakat multikultur diharapkan dapat meredamkan kondlik dengan menawarkan opsi-opsi yang lepas dari domisi identitas (dalam lingkup self-subjectivity) dalam keputusan politik.
Adanya identitas religius antara Islam dan Kristen, identitas seksual antara perempuan dan laki-laki, identitas nasionalis antara imigran dan penduduk asli; baik maghribi atau ras lainnya, memberi ruang pada interpretasi kekuasaan. Hal ini menyebabkan posisi superioritas-subordinat. Sementara dalam identitas negara sebagai solidaritas sosial, hal itu dihilangkan. Identitas dilihat sebagai suatu kesatuan besar yang membuat masyarakat bersama-sama dalam proses interpelasi dan identifikasi yang sama. Identitas Prancis berkiblat pada liberté, égalite, fraternité, yang mengedepankan prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kebersamaan sebagai sebuah negara. Maka dari itu, masyarakat dapat lebih toleran menghadapi perbedaan.
Solusi yang ditawarkan ini dapat disampaikan melalui media komunikatif yang tidak memperlihatkan identitas sebagai kesatuan terpisah. Adanya media sebagai perantara simbol menjadi peranan penting untuk menghantarkan konsep ini. Identitas dilihat sebagai satuan kolektif yang lebih besar, sehingga menumbuhkan rasa saling memiliki lepas dari tembok perbedaan ras, agama, etnis, budaya, dan gender. Identitas multikultural Prancis yang menjadi salah satu contoh adalah film Entre Les Murs yang memperlihatkan identitas multikultural Prancis dengan sangat apik. Film yang serupa juga memperlihatkan lesapnya identitas religus dan identitas nasionalis imigran dalam film Il Reste du Jambon.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang didapatkan dari pemaparan ini adalah pemahaman mengenai Islamofobia yang terjadi di Prancis, terutama pada imigran perempuan muslim maghribi yang mengalami posisi paling sulit karena adanya diskriminasi yang bertubi-tubi. Diskriminasi dipersempit pada bagian pencarian pekerjaan, mengingat bahwa faktor pekerjaan adalah pendukung pendting dalam kesejahteraan hidup individu. Hasil penelitan sebelumnya menyatakan bahwa diskriminasi nyata terjadi pada imigran perempuan muslim maghribi. Adanya diskriminasi ini kemudian dielaborasi lebih jauh dengan pemahaman identitas dari sudut pandang teori identitas Hall. Hal itu memperlihatkan identitas dan representasi sosial masyarakat Prancis. Dari titik itu, Prancis sebagai masyarakat majemuk penting menyadari identitas negaranya sebagai sebuah solidaritas sosial yang membawa Prancis ke arah yang lebih baik dalam menghadapi diskriminasi yang mengarah pada konflik dan alienasi identitas tertentu.
Prancis dan Indonesia yang merupakan dua contoh negara multikultural. Melihat pemaparan sebelumnya mengenai identitas masyarakat multikultural Prancis dengan slogan yang bertumpu pada kesetaraan, kebebasan, dan kebersamaan. Hal serupa terjadi di Indonesia. Indonesia sebagai identitas nasional mengacu pada Pancasila dan Bhinekka Tunggal Ika. Sadar dengan perbedaan memperkaya Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan yang menjadi contoh identitas budaya multikultur. Dengan prinsip toleransi tinggi terhadap perbedaan agama, tingkat sosial, gender, ras, dan etnis, proses integrasi tentu tidak luput dari diskriminasi yang terjadi. Namun, itulah bagian dari diferensiasi yang juga menjadi tanda keberagaman Indonesia.
Indonesia dalam proses integrasinya dinilai sedikit lebih maju dari Prancis. Hal ini dibuktikan dari sejarahnya di mana pada masa Majapahit dan Sriwijaya, Nusantara memang merupakan sebuah kesatuan masyarakat majemuk. Hal ini menjadi refleksi bagi masyarakat Indonesia untuk menghadapi beberapa kasus terkait diskriminasi yang terjadi akhir-akhir ini seperti: kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah yang marak terjadi di daerah P. Jawa, konflik baik di Aceh, Poso, dan Maluku terkait agama, ras, etnis, dan suku. Tidak hanya itu, tindakan rasial bagi etnis kaum cina atau stereotip pada suku-suku juga harus diminimalisir mengingat identitas kolektif pada taraf nasional sebagai warga negara Indonesia. Pembahasan Islamofobia di Prancis ini diharapkan menjadi sebuah refleksi untuk tidak mempersoalkan masalah mayoritas-minoritas terkait SARA, pentingnya menyadari perbedaan dan kompleksitas Indonesia sebagai masyarakat multikultur, menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta kesetaraan hak dan kewajiban pada setiap individu. Hal ini diharapkan tidak hanya diterapkan pada individu saja, melainkan diterapkan pada politik, ekonomi, sosial, dan aspek lainnya dalam negara. Demikian adanya agar toleransi akan perbedaan pun tercipta, sehingga konflik dan alienasi dapat dihadapi dengan baik.
REFERENSI
SUMBER BUKU
Adida, Claire L., Laitin, David D., Valfort, Marie-Anne. 2012. Women, Muslim     Immigrants, and Economic Intergrations. Paris: Stanford University & Paris-Sorbonne 1.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Publications
Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Woodward, Kathryn. 1999. Identity and Difference. London: SAGE Publication.
SUMBER ONLINE
http://academic.udayton.edu/race/06hrights/georegions/Europe/France01.htm diakses        30 Mei 2012 18.00 WIB
http://www.nytimes.com/2010/08/06/opinion/06fri2.html?_r=0 diakses 30 Mei 2012 Â Â Â Â Â Â 18.15 WIB
http://www.nytimes.com/2010/08/06/opinion/06fri2.html?_r=0 diakses 30 Mei 2012 19.00 WIB
http://www.inotherwords-project.eu/content/islamophobic-discourse-in-europe-the-Â Â Â Â Â Â Â Â reasons-behind-fear diakses 30 Mei 2012 19.20 WIB
http://www.runnymedetrust.org/publications/pdfs/Islamofobia.pdf diakses 31 Mei           2012 22.00 WIB
http://www.inotherwords-project.eu/content/islamophobic-discourse-in-europe-the-Â Â Â Â Â Â Â Â reasons-behind-fear diakses 1 Juni 2013 13.20 WIB
http://eurospheres.org/files/2010/08/Eurosphere_Working_Paper_12_Fuga.pdf     diakses 1 Juni 2013 13.40 WIB
http://www.unicef-irc.org/files/documents/d-3278-The-children-of-immigrant.pdf diakses 1 Juni 2013 14.05 WIB
Les immigrés en France, INSEE REFERENCES, Edition 2005 diakses 1 Juni 2013           14.15 WIB
https://www.pism.pl/files/?id_plik=13739 diakses 1 Juni 2013 14.19 WIB
http://www.france24.com/en/20120423-amnesty-international-report-says-muslims-Â Â Â Â Â Â Â Â victims-discrimination-europe diakses 1 Juni 2013 16.00 WIB
http://www.afse.fr/docs/cavaco_sandra_tournadre_fabienne_texte.pdf diakses 1 Juni        2013 16.20 WIB
http://academic.udayton.edu/race/06hrights/georegions/Europe/France01.htm
http://www.nytimes.com/2010/08/06/opinion/06fri2.html?_r=0
http://www.inotherwords-project.eu/content/islamophobic-discourse-in-europe-the-reasons-behind-fear
http://www.runnymedetrust.org/publications/pdfs/Islamofobia.pdf
http://www.inotherwords-project.eu/content/islamophobic-discourse-in-europe-the-reasons-behind-fear
http://eurospheres.org/files/2010/08/Eurosphere_Working_Paper_12_Fuga.pdf
http://www.unicef-irc.org/files/documents/d-3278-The-children-of-immigrant.pdf
Les immigrés en France, INSEE REFERENCES, Edition 2005