Mohon tunggu...
ISMKI Wilayah 3
ISMKI Wilayah 3 Mohon Tunggu... -

Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) adalah salah satu organisasi resmi besar yang menghimpun seluruh mahasiswa kedokteran se-Indonesia dari Sabang sampai Merauke. ISMKI adalah wadah kebersamaan dan kekeluargaan yang dibangun berdasarkan persamaan cita-cita mahasiswa kedokteran dalam peranannya membangun bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pak Dokter yang Terkatung-katung

27 Maret 2014   04:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:25 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pak Dokter yang Terkatung-Katung

Dunia kedokteran Indonesia pada 2014 ini sedang mengalami banyak sekali revitalisasi. Dimulai dari berubahnya layanan jaminan kesehatan (sekarang dikenal dengan BPJS Kesehatan) yang secara tidak langsung berpengaruh dalam sistematika pelayanan dan rujukan dokter di Indonesia. Kini, mahasiswa kedokteran dikejutkan dengan hadirnya UU Pendidikan Kedokteran yang memiliki pasal-pasal yang cukup menimbulkan pro dan kontra. UU Pendidikan Kedokteran sendiri sebenarnya sudah ada sejak 6 Agustus 2013, namun tidak banyak mahasiswa kedokteran dan dokter umum yang mengetahui akan hal ini. Kebenaran pernyataan tersebut dapat dilihat dari kurang booming-nya isu ini di kalangan mahasiswa. Tidakkah miris melihat kenyataan di mana mahasiswa sendiri tidak tahu bahwa mungkin lahirnya salah satu pasal tentang penghapusan profesi dokter umum akan mengubah segala rencana hidup yang sudah mereka susun sedemikian rupa?

Contoh pasal yang paling terlihat ‘aneh’ adalah tentang wacana penghapusan profesi dokter umum yang nantinya akan digantikan oleh posisi dokter spesialis layanan primer. Dokter ini nantinya akan berada pada lini pertama layanan BPJS Kesehatan. Dalam Pasal 8 ayat 3 dengan bunyi “Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.”

Berdasarkan pengakuan Wamenkes, Prof. Dr. Dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc.,Ph.D., hadirnya dokter spesialis layanan primer pada lini pertama BPJS Kesehatan diharap dapat mematangkan kembali para dokter umum dalam peranannya sebagai dokter keluarga. Dokter layanan primer dianggap bisa menjawab tantangan di dunia kesehatan masa mendatang sehingga proses rujukan dari dokter umum ke dokter spesialis menjadi lebih terstruktur. Dari pernyataan ini, kita sebagai mahasiswa kedokteran pasti sudah sangat menyadari bahwa dalam waktu 7 tahun pendidikan dan profesi, kita digodog dengan berbagai ilmu dan dicekoki bermacam-macam algoritma sistem rujukan. Masih kurang kah? Rujukan yang se-hebat apa yang diharapkan pemerintah?

Dalam suatu wawancara eksklusif sebuah stasiun TV swasta bersama Pak Wamenkes, beliau berharap para dokter umum yang melanjutkan sekolah spesialis layanan primer nantinya dapat membantu proses persalinan di daerah perifer. Hal ini tampak sangat lucu karena proses persalinan normal memanglah kompetensi yang sebenarnya bisa dilakukan dokter umum di manapun berada. Lalu, partus normal seperti apa yang diharapkan pemerintah dapat dijalankan dokter layanan primer?

Jika memang sistem ini akan dijalankan di Indonesia, bisakah kita semua membayangkan bahwa nantinya saat sekitar sebanyak 90.000 dokter umum diwajibkan menempuh pendidikan spesialis untuk tetap mendapat lapangan pekerjaan. Saat sedang menempuh proses pendidikan, lalu siapakah yang akan menjadi pelayan kesehatan di lini pertama? Perawat kah? Bukan kah katanya pemerintah telah ‘mengharamkan’ dokter umum berada di lini pertama pelayanan kesehatan? Harus kah rakyat Indonesia dilarang sakit?

Dilihat dari kesiapan Fakultas Kedokteran yang menyelanggarakan Program Spesialis layanan primer, pasal ini juga bisa menjadi pertimbangan, Pasal 8 dengan bunyi “Program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi.” Bisakah 90.000 lulusan dokter umum yang berasal dari 74 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia menempuh pendidikan di hanya kurang dari 20 universitas yang tidak tersebar merata di seluruh Indonesia? Bisa bayangkan waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem ini? Berapa lama rakyat Indonesia harus menunggu? Berapa lama calon dokter dan dokter harus menghabiskan waktu mereka untuk menempuh pendidikan dengan biaya yang tidak sedikit? Saat menempuh sekolah, dokter pun dilarang untuk membuka praktek. Bagaimana dengan nasib kesejahteraan dokter di Indonesia? Lalu, pemerintah akan kah lepas tangan dari adverse effect regulasi yang mereka buat sendiri?

Dengan segala macam pertimbangan yang ada, pemerintah (terutama Kemenkes) terlihat tetap memegang teguh idealisme mereka untuk menjalankan UU tersebut. Perlukah IDI dan ISMKI bertindak? Karena sebenarnya, jika bukan kita, siapa lagi yang akan memperjuangkan nasib kita sendiri? Seandainya profesi dokter umum akan benar-benar dihapuskan, sanggupkah kita dan pemerintah mereduksi atau bahkan mengeliminasi kemungkinan kendala yang sudah disebutkan di atas? Only time will tell. Semoga kita senantiasa diberi ketabahan untuk tetap berjuang. Impian tetaplah menjadi impian meski harus menjadi ‘Dokter yang Terkatung-Katung’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun