Mohon tunggu...
Ismit Gafur
Ismit Gafur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sekretaris Cabang PC PMII Halmahera Selatan

Membaca dan diskusi, serta menciptakan wacana dalam karya tulis yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konspirasi Birokrasi Total

26 Oktober 2024   11:40 Diperbarui: 26 Oktober 2024   11:47 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Oleh : Ismit G.Abdullah

Pada dasarnya manusia mempunyai hak, hak hidup, hak bebas dan lain sebagainya. Salah satunya yang menjadi kohesi dikalangan tak murni intelektual atau intelektual gadungan. adalah hak bebas, seolah-olah pengucapan bebas yang begitu mahir menjadi solusi dalam kehidupan, itu musthail karena  bebas menjadi instrumen pada pendengaran kebohongan, tak sadar  kita dirantai dalam segala aspek. Lalu kita teriak sekuat tenaga untuk mengalahkan bebas yang dirantai itu pada metodologis ekstraparlemen. Pasca parlemen jalanan semua terhenti dan barada pada skema konspirasi otokrasi. 

Ketika aku mengatakan, kita semua berada dalam skema, tidak..!! Saut mereka dengan wajah gerang terlihat merah, menolak ucapan bodoh tak rasional itu. Bantahan yang meronta bahwa kita ini adalah agen perubahan, maka kita tetap harus berjuang hingga kemenagan total kita pegang. Itu lelucon yang kita pertahankan, ibarat cerita primordial dalam hidup semasa kecil yang menjadi nyanyian tidur, dengan elusan selembut sutra, tapi setajam silet diselimutkan pada tubuh  yang hina. 

Pandangan ini benar-benar naif, karena anggapanya semacan delusi konyol, bahkan aku dianggap berselingkuh dengan kelompok elit, dan aku dikendalikan oleh mereka. Sehingga yang aku ucapkan seolah-olah tidak realistis.  Jika demikian, mari kita bereksperimen sebentar untuk menguji validitas tentang pandangan diatas.  Aku adalah manusia yang ingin bebas, aku berupaya sekuat tenaga dan pikiran untuk melepas mata rantai itu, lalu dengan gagah berani aku mengeksplorasi sebidang lahan kepunyaanku, dengan wajah senyum seolah benar setelahnya akan bebas. 

Lahan yang sudah dieksplorasi, kemudian aku membuat usaha kecil untuk penghidupan (nafkah) keluarga, sebuah niat yang mulia aku tancapkan dalam hati dan pikiran. Aku kembali terseyum dan melontarkan kalimat" lihatlah ini merupakan bukti bahwa kita bebas, mengapa? karena semua yang aku lakukan tidak ada yang menghentikan" sebab lahan itu kepunyaanku. Dalam prespektif individu 

Kita anggap benar, tapi mari kita tengok lagi pada prespektif Negara "menurutnya dia boleh melakukan apa yang dia mau dengan tanah kepunyaanya, tapi tanah kepunyaanya masuk daftar pada aturan yang mana? Prespektif singkat itu menunjukan bahwa kita tidak bebas, lalu mana buktinya kalau kita tidak bebas!! 

Dalam prespektif Negara berikutnya, " jika tanah kepunyaanya belum terdaftar, maka setumpuk formolir menantinya, setelah formolir terisi maka tanah itu legal menurut negara. Bukti yang kedua bahwa kita tidak bebas, mengapa? Karena semua yang kita lakukan, baik tindakan bebas dalam anggapan kita harus melalui persetujuan Negara. Itu artinya kehendak bebas kita sedang dirantai, dan itu ada pada skema konspirasi birokrasi total. 

Tak sentuh baginya, mari kita lepas yang di atas dan menuju ekperimen berikutnya. Bebas secara individualitas dalam prespektif birokrasi memiliki batasan yang tak harus kita lewati, jika kita paksakan untuk melangkah lebih jauh maka kita banyak kehilangan kebebasan. Agar valid ucapan itu mari kita lanjutkan, kita merasa cukup atas kebebasan, bebas yang kita lakukan bahkan kritik sekalipun menjadi untaian yang dilantunkan pada frustasi. Iya memang itulah kebenaranya, akan tetapi frustasi itu memiliki legalitas yang kuat, misalnya aku adalah miskin melakukan sesuatu diluar batas, seperti di Negara tirani maka kepastianya kita disergap secara diam-diam. Lalu sejauh mana kita bebas semaunya? Barangkali hanya rahasia hati yang absurd penentu niat baik. Tapi sebaik niat itu, menjadi ancaman. Sebab tindakan kita pada kehidupan, kita berada dalam kontrol otoritas kuasa, hingga tindakan gila yang kita laksanakan, atasan tidak bisa kita lewatkan karena dialah penentu izin dalam legalitas bebas. 

Olehnya, diseluruh bagian itu motifnya kepentingan tak bermoral. Maka kita tak sadar  bahwa kita diikat pada tiang pembebasan, lalu kita dipaksa bebas. Seperti seekor keledai dirantai dan dipaksa memakan kucing. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun