Telah terhitung empat tahun lebih sejak 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan beroperasi dalam menerapkan program Jaminan Kesehatan Nasional -- Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Â Ada banyak hal terjadi dalam kurun waktu yang bisa dibilang tidak sedikit itu. Mulai dari meningkatnya jumlah peserta yang terdaftar program, hingga bertambahnya jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas maupun klinik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Meski kelihatannya fakta-fakta tersebut menunjukkan selangkah lagi keberhasilan pemerintah untuk mencapai Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) yang direncanakan terjadi pada 2019. Kenyataannya dibalik pencapaian tersebut masih ada banyak permasalahan yang perlu dibenahi, salah satunya rasionalitas iuran peserta BJS Kesehatan.
Hal ini masih menjadi permasalahan mendasar karena faktanya sampai saat ini premi atau iuran yang dibayarkan peserta BPJS Kesehatan masih tidak sesuai dengan luasnya manfaat yang diberikan. Premi atau iuran yang ditetapkan pemerintah ini masih terbilang rendah dan belum sesuai dengan hitungan para ahli mengenai perhitungan aktuaria yang lazim digunakan dalam program seperti ini.
Berdasarkan data pada laporan BPJS tahun 2016 yang dipublikasikan pada 2 Maret 2018, salah satu contoh yaitu untuk iuran peserta PBI yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 23.000, sementara angka ideal besarnya iuran berdasarkan perhitungan aktuaria Dana Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah sebesar 36.000. Artinya ada selisih sebesar 13.000.
Lebih parah terjadi pada iuran Pekerja Bukan Penerima Upah yang mencapai dua kali lipatnya dengan selisih sebesar 27.500. Â Angka ini mungkin terlihat kecil. Iya, memang kecil apabila orang yang tercakup subsidi hanya ratusan atau ribuan orang. Tetapi kita membicarakan program JKN-KIS yang ingin mencapai Jaminan Kesehatan Semesta, yang artinya dipastikan memakan triliyunan rupiah.
Dalam jangka pendek hal ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap situasi keuangan negara. Namun dalam jangka panjang, situasi ini dapat menimbulkan kondisi yang disebut underfunded program yang mana dapat berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) program JKN-KIS.Â
Kondisi ini kemudian juga diperparah dengan adanya adverse selection, insurance efffect, lemahnya regulasi yang ada, hingga potensi fraud yang terjadi. Jika hal ini terus dibiarkan kemungkinan risiko defisit BPJS Kesehatan akan selalu terjadi.
Salah satu cara pilihan untuk mengatasi defisit demi keberlangsungan program adalah dengan penyesuaian iuran yang ideal dengan perhitungan aktuaria yang ditetapkan para ahli. Tetapi cara ini tidak mudah dilakukan karena pemerintah perlu memperhatikan kondisi masyarakat. Pilihan cara lain bisa dengan mengurangi manfaat program, dengan pengecualian manfaat untuk kelompok penyakit tertentu.
Namun tidak direkomendasikan dikarenakan hal ini dapat menimbulkan masalah sosial baru. Jadi, satu-satunya pilihan yang baru bisa pemerintah lakukan hingga saat ini adalah penambahan suntikan dana untuk program JKN-KIS. Tetapi bukan berarti cara ini dapat dilakukan selamanya. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan defisit tersebut tanpa harus mengorbankan pihak mana pun terutama masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI