Merujuk pada pandangan Natsir, agama islam merupakan agama yang memiliki prinsip-prinsip yang tepat dan cocok jika diterapkan untuk mengatur suatu individu dalam masyarakat. Namun meski dengan prinsip-prinsip tersebut, islam juga membutuhkan alat yang tepat agar prinsip tersebut dapat terealisasi. Maka dari itu, Islam dan negara akan lebih sepadan apabila terjadi percampuran. Selanjutnya, berdasarkan pandangan Natsir antara islam dan negara merupakan dua perpaduan religio-politik yang menyatu.Â
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sejarahnya memiliki paham nasionalisme, dalam proses terciptanya paham tersebut maka organisasi yang memiliki nama Sarekat Islam ini tercipta. Namun, karena adanya rasa sebagai pihak yang berkuasa hal itu menyebabkan suatu perdebatan antara pihak organisasi dengan aktivis Islam politik mengenai sikap paham nasionalisme tersebut. Dalam pandangan Soekarno nasionalisme adalah sebuah keyakinan dan kesadaran di kalangan masyarakat bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok dan juga satu bangsa. Meski begitu, pandangan Soekarno justru dibantah oleh aktivis islam karena adanya perbedaan pendapat yang kemudian berakhir pada persoalan yang lebih kompleks yaitu, berhubungan dengan politik antara islam dan negara (Effendy, 1998).
Dalam hal ini, Indonesia memiliki peristiwa di mana, negara yang berbentuk kesatuan ingin dijadikan sebuah negara yang "bersyariat-kan" Islam. Peristiwa ini adalah peristiwa 7 Agustus 1949 yang berasal dari adanya Negara Islam Indonesia (selanjutnya NII) yakni kelompok Islam di Indonesia yang mengharapkan Indonesia menjadi negara yang berlandaskan syariat/hukum Islam, kelompok ini juga dikenal dengan nama Darul Islam (selanjutnya DI) yang memiliki arti negeri Islam. Kelompok DI merupakan kelompok yang dikoordnasikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para milisi Muslim, DI terus-menerus melakukan pemberontakan seperti yang terjadi di Aceh, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Hal ini menjadi contoh sejarah adanya keinginan suatu kelompok Islam yang mengharapkan NKRI menjadi NII atas dasar kekecewaan terhadap pemerintah pusat saat itu. Namun, pada September 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dihukum mati berdasarkan keputusan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper), karena dianggap memberontak dengan membentuk Negara Islam Indonesia melalui DI/TII.Â
Selain itu, adapun contoh peristiwa di Indonesia yang memiliki tujuan yang hampir sama dengan DI yakni seperti adanya gerakan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Jamaah Ansharut Tauhit (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia(MMI), Bintang Kejora, Republik Maluku Selatan (RMS), dan lainnya. Tidak jarang kelompok-kelompok Muslim yang mengharapkan Indonesia menjadi negara Islam melakukan tindakan-tindakan yang akhirnya memicu kerusakan pada kedaulatan NKRI. Hal tersebut menjadikan kelompok-kelompok Islam dipandang tidak baik oleh banyak Muslim maupun non-muslim sebab, dalam NKRI hal tersebut sangat mengkhawatirkan dan memberikan dampak ketidak nyamanan dalam negara.Â
Dalam hal ini, salah satu antara Islam dan politik tidak bisa menjadi yang paling dominan sebab, sejarah kemerdekaan Indonesia justru hadir atas kerja sama masyarakat yakni antar umat yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Indonesia. Selain itu, secara indeks penduduk, Indonesia memiliki keragaman yang tidak bisa dihilangkan dan dipaksakan kehendaknya hanya karena persoalan agama. Di Indonesia sendiri memiliki "Bhinneka Tunggal Ika" dan Pancasila yang telah menjadi dasar kesatuan negara. Maka dari itu, rasanya akan sulit ketika kedua hal tersebut sama-sama ingin menjadi dominan.  Alangkah baiknya, NKRI menjadi negara yang tetap teguh atas kesatuan dalam perbedaan  sehingga meminimalisir konflik dalam negara yang akan merugikan nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H