Dalam rangka penegakan hukum, perundang-undangan di bidang perpajakan diatur pula mengenai sanksi. Adanya ketentuan sanksi ini untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku baik dilakukan oleh wajib pajak, petugas pajak maupun pihak ketiga. Pajak merupakan sumber dana yang besar bagi pembangunan.
Oleh sebab itu dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan di bidang perpajakan diperlukan adanya sanksi, sehingga kebocoran dari sektor ini dapat dihindari. Penggunaan atau pengenaan sanksi memang bukan satu-satunya jalan yang terbaik, namun paling tidak akan dapat mempengaruhi atau membuat sadar para wajib pajak, petugas pajak atau pihak ketiga yang telah melakukan kelalalian atau kesengajaan melakukan perbuatan yang menyimpang dari undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang Undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan Undang Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-undang tentang Bea Meterai dikenal adanya dua sanksi dalam bidang perpajakan yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang merupakan denda, bunga dan kenaikan.
Sedang sanksi pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiscus agar norma hukum dipatuhi (Mardiasmo, 1992:21). Sebagai bagian dari hukum administrasi, undang-undang pajak lebih banyak mengandung sanksi administrasi dari pada sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan wewenang administrasi pajak dan dijatuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan sanksi pidana merupakan wewenang pengadilan pidana dan dijatuhkan oleh hakim pidana, bila hakim mempunyai keyakinan bahwa pelaku benar-benar terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi merupakan sejumlah pembayaran kerugian berupa uang kepada negara. Ada tiga macam sanksi administrasi perpajakan yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak sesuai dengan undang-undang perpajakan, yakni dalam bentuk denda, bunga dan kenaikan pajak.
1. Denda Administrasi
a. Bila surat pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan
waktu yang ditentukan, yaitu:
1. Untuk surat pemberitahuan (SPT) masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah
akhir masa pajak.
2. Untuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun pajak.
3. Untuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak.
Terhadap hal tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT masa pajak pertambahan nilai, Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT masa lainnya, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan dan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT tahunan pajak penghasilan pajak orang pribadi (Pasal 7 UU No. 28 Tahun 2007).
b. Wajib pajak dapat membetulkan SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis sesudah masa pajak atau tahun pajak terakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan penyidikan (walaupun telah melakukan pemeriksaan) yaitu dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150 % (seratus lima puluh prosen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar (Pasal 8 ayat (3) UU. No. 28 Tahun 2007).
c. Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2 % sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan (Pasal 11 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1994.
d. Wajib pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan obyek pajak (SPOK) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOK dan setelah ditegur secara tertulis melalui surat teguran, dikenakan denda administrasi sebesar 25 % dihitung dari pokok pajak (Pasal 10 ayat (2) huruf a dan ayat (3) jo Pasal 9 ayat (2) UU. No. 12 Tahun 1994.
e. Wajib pajak yang mengisi surat pemberitahuan obyek pajak tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah yang dihitung berdasarkan SPOK yang disampaikan oleh wajib pajak. Terhadap hal ini dikenakan denda administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terhutang (Pasal 10 ayat (2) huruf b dan ayat (4) UU. No. 12 Tahun 1994.
f. Pembuat atau pemegang dokumen yang dikenakan bea meterai tetapi dokumen yang bersangkutan bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya. Terhadap pemegang atau pembuat dokumen dikenakan denda administrasi sebesar 200 % dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 8 ayat (1) UU. No. 13 Tahun 1985). Kemudian pemegang dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar tersebut harus melunasi bea meterai yang terhutang dan dendanya dengan cara pemeteraian kemudian (Pasal 8 ayat (2) UU. No. 13 Tahun 1985).
2. Sanksi Administrasi Berupa Bunga
a. Wajib pajak yang pembayaran pajaknya tidak sesuai dengan ketentuan atau terlambat dibayarkan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % perbulan (Pasal 8 ayat (2, 2a), Pasal 9 ayat (2a,2b), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3) UU. No. 28 Tahun 2007.
b. Surat ketetapan pajak kurang bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun telah lewat lima tahun, dalam hal wajib pajak dipidana dibidang perpajakan atau tindak pidana lain (Pasal 13 ayat (5), Pasal 15 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2007.
Sanksi administrasi berupa bunga terdiri dari bunga pembayaran, bunga penagihan dan bunga ketetapan (Moeljo Hadi, 1992:27). Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak tidak pada waktunya dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri tanpa dikeluarkan tagihan berupa surat tagihan pajak (STP), surat ketetapan pajak (SKPT). Bunga penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak ditagih dengan surat tagihan berupa STP, SKP dan SKPT tidak dilakukan dalam batas waktu pembayaran. Sedangkan bunga ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam surat ketetapan pajak sebagai tambahan pokok pajak.
3. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
a. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50 % dari pajak yang kurang dibayar (Pasal 8 ayat (5) UU. No. 28 Tahun 2007
b. Dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
1. 50 % dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
2. 100 % dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.
3. 100 % dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang dibayar.
Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UU. No. 28 Tahun 2007.
c. Dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (Pasal 15 ayat (2) UU. No. 28 Tahun 2007.
Sanksi administrasi yang berupa denda, bunga dan kenaikan lebih ditekankan untuk kepentingan negara yang bersifat ekonomis, yakni supaya pendapatan negara dari sektor pajak dapat meningkat. Bila penerapan sanksi administrasi yang diatur dalam pasal-pasal undang- undang perpajakan di atas masih belum efektif, maka penagihan dapat dilakukan berdasarkan Undang Undang No. 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang Undang No. 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan paksa jo Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 608/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak dan penunjukan pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa.
Sanksi Pidana
Dalam Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ketentuan mengenai sanksi pidana dalam didang perpajakan diatur dalam Pasal 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B, dan 41C. Pada dasarnya tindak pidana di bidang perpajakan dibedakan menurut sifatnya, yaitu karena kealpaan dan karena kesengajaan. Terhadap kedua sifat tindak pidana tersebut dikenakan sanksi pidana kepada wajib pajak, petugas pajak (fiskus) dan kepada pihak ketiga.
1. Sanksi Pidana Terhadap Wajib Pajak
a. Karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 A, didenda paling sedikit 1(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 38 UU. No. 28 Tahun 2007).
b. Dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan pengusaha kena pajak; tidak menyeampaikan SPT; menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ancaman pidana menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana bila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan (Pasal 39 ayat (1), (2) UU. No. 28 Tahun 2007).
c. Setiap orang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkn transaksi yang sebenarnya; atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak (Pasal 39 A UU. No. 28 Tahun 2007).
d. Percobaan untuk meloakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau perkreditan pajak; dipidana denganpidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau perkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau perkreditan yang dilakukan (Pasal 39 ayat (3) UU. No. 28 Tahun 2007.