Mohon tunggu...
Ismawati Retno
Ismawati Retno Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Mencintai JOGJA bersama dinamika kehidupannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanti Malioboro yang Humanis

18 Juli 2012   08:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_194855" align="alignnone" width="841" caption="Gambaran ke depan Rekayasa Malioboro yg dilakukan baru2 ini. Menjelang Lebaran nanti Malioboro akan tampak seperti ini. (foto:dok.pemkot yk) "][/caption]

Di sepenggal jalan sepanjang 1,4 km membentang di jantung Kota Jogja. Malioboro telah memulai denyut kehidupannya ketika Hamengku Buwono I membuka kawasan perekonomian dengan mendirikan pasar tradisional pada tahun 1758. Kejayaan Malioboro telah berkembang sejak dahulu ketika kawasan ini menjadi lokasi penting bagi pemerintah kolonial dan Kraton Yogyakarta. Nuansa kultural historis yang melekat kuat menyembul dari eloknya fasad bangunan heritage yang ada.

[caption id="" align="alignnone" width="720" caption="Bangunan Heritage yg menyembul diantara bangunan modern. (foto.dok.pemkot yk)"]

Bangunan Heritage yg menyembul diantara bangunan modern. (foto.dok.pemkot yk)
Bangunan Heritage yg menyembul diantara bangunan modern. (foto.dok.pemkot yk)
[/caption]

Ratusan tahun berlalu, Malioboro terus tumbuh di abad modern ini menjadi sebuah pusat kota, pusat pemerintahan, kawasan ekonomi sekaligus budaya yang menjadi ruh bagi Kota Yogyakarta. Sumbu imajiner yang diyakini menghubungkan Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu dan Puncak Gunung Merapi adalah sebuah kekayaan spiritual yang melengkapinya. Malioboro yang namanya diambil dari nama seorang Duke Inggris, Marlborough ini adalah warisan budaya yang menyimpan sejuta pesona.

Malioboro bersinergi menjadi bagian dari Yogyakarta, sebagai salah satu kota utama di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Menyandang predikat sebagai Kota Pendidikan,  Kota Pariwisata, Kota Budaya dan Kota Perjuangan yang melekat kuat sebagai sebuah simbol identitas.

Pemkot Yogyakarta dalam beberapa waktu belakangan ini terlihat sedang melakukan penataan di kawasan Malioboro. Rekayasa dilakukan untuk memunculkan eksotisme Malioboro sebagai kawasan budaya sekaligus menonjolkan kapasitasnya sebagai pusat ekonomi. Penataan Malioboro kali ini menjadi gebrakan terbaru Walikota Haryadi Suyuti, yang ditargetkan akan bisa selesai menjelang lebaran nanti. Harapannya ikon Kota Yogyakarta ini akan menebarkan pesona kecantikannya ketika kunjungan wisatawan mencapai puncak pada setiap liburan lebaran.

Memotret Malioboro dari dimensi pariwisata berbasis budaya, dimana segala aktivitas kepariwisataan dibingkai dalam nuansa budaya yang selalu dinamis. Malioboro menyimpan potensi dan peluang yang senantiasa terus dikembangkan dan ditingkatkan. Maka, pengembangan sebagai sebuah kawasan cagar budaya yang humanis harus diupayakan untuk mempertahankan fasad Kota Yogyakarta sebagai kota kuno, dimana ada keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatannya.

Menegaskan kembali atmosfer Yogyakarta Yang Berhati Nyaman bagi semua, konsep penataan Maliboro kali ini haruslah mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat dengan dengan memberi ruang yang saling mendukung bagi kehidupan sosial, ekonomi juga lingkungan. Malioboro diharapkan hadir lebih dekat lagi bagi pejalan kaki dan penyandang disabilitas melalui penataan jalur lambatnya. Ruang terbuka hijau berbagi tempat selaras dengan ruang seni. Infrastruktur dan sarana jalan (zebra cross, traffic light, rambu lalu lintas) berkolaborasi indah dengan lighting street furniture. Keberadaan Jogoboro yang berfungsi sebagai satuan pengaman yang mampu memperkuat citra budaya.

[caption id="" align="alignnone" width="720" caption="lighting street furniture berkolaborasi indah dengan Infrastruktur dan sarana jalan. (foto.dok.pemkotyk)"]

lighting street furniture berkolaborasi indah dengan Infrastruktur dan sarana jalan. (foto.dok.pemkotyk)
lighting street furniture berkolaborasi indah dengan Infrastruktur dan sarana jalan. (foto.dok.pemkotyk)
[/caption]

Keseriusan Pemkot Yogyakarta sangat diharapkan untuk merubah Malioboro hadir lebih nyaman bagi pengunjungnya. Rekayasa fisik semestinya dilakukan untuk menampilkan eksotisme wajah budaya yang selama ini tenggelam oleh sampah visual berupa iklan luar ruang. Kemolekan estetika Malioboro mampu hadir selaras dengan kebersihan dan kenyamanannya.  Keramahan Malioboro haruslah sejalan dengan ketertiban para tukang parkir, pedagang kaki lima, sopir taksi, sopir andong, tukang becak, dan komunitas penghuni Malioboro lainnya.

Membangun Malioboro tidak sekadar membangun fisik saja. Seberapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membangun fisik tidak akan ada artinya jika tanpa dilandasi dengan tumbuhnya nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Rekayasa perilaku nilai bagi berbagai komunitas Malioboro seyogyanya ditumbuhkan dengan landasan Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta) yang dijiwai nilai-nilai lokal berupa jiwa kedisiplinan, kemandirian, kepedulian dan kebersamaan. Dari Malioboro berharap bisa mewujud masyarakat Kota Yogyakarta yang bermoral, beretika, beradab dan berbudaya.

Pada penataan Malioboro kali ini ketegasan Pemkot Yogyakarta akan menjadi taruhannya, karena bagi warga Kota Yogyakarta, Malioboro adalah kebanggaan yang tak pernah lekang oleh jaman.

*) Ismawati Retno

PNS pada Pemkot Yogyakarta

Dimuat di OPINI Harian Kedaulatan Rakyat Rabu 18 Juli 2012 hal 12

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun