iklim yang kian tidak stabil. Perubahan iklim memberikan dampak buruk bagi kehidupan dan kegiatan manusia, seperti peningkatan suhu permukaan laut, cuaca ekstrem, perubahan pola curah hujan, serta terjadinya gelombang laut yang besar (Nurhayati dalam Malihah, 2022). Perubahan ini dipengaruhi oleh pemanasan global akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi dan emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang mengancam ekosistem pesisir dan mata pencaharian masyarakat. Selain faktor global, pengelolaan lingkungan yang buruk di tingkat lokal turut memperburuk situasi, sehingga dibutuhkan langkah nyata untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Dewasa ini, Indonesia tengah menghadapi kondisi
Kondisi iklim yang tidak stabil seperti hujan ataupun kemarau berkepanjangan di Indonesia memberikan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global meliputi mencairnya gletser, kepunahan sejumlah spesies hewan, serta memengaruhi hasil pertanian (Malihah, 2022). Curah hujan yang tidak menentu sering menyebabkan banjir yang merusak lahan dan tanaman, sementara musim kemarau yang berkepanjangan memicu kekeringan yang menghambat produksi. Selain itu, suhu yang semakin tinggi juga meningkatkan risiko serangan hama dan penyakit tanaman. Selain itu, suhu yang terus meningkat akibat perubahan iklim memiliki kontribusi dalam memengaruhi kondisi tanaman pertanian. Suhu yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman tertentu dan membuat mereka lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Akibatnya, produktivitas hasil tani menurun, yang tidak hanya berdampak pada perekonomian petani, tetapi juga ketahanan pangan nasional.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian, diperlukan penerapan solusi yang ramah lingkungan. Hal ini penting agar tidak memperburuk kerusakan lingkungan yang justru dapat memperparah kondisi iklim dan menciptakan lingkaran masalah yang sulit diatasi. Salah satu solusi ramah lingkungan yang dapat digunakan adalah biopestisida. Biopestisida adalah jenis pestisida yang memanfaatkan bahan-bahan alami, seperti tumbuhan, bakteri, mineral, atau hewan, yang berfungsi untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Ula & Mizani, 2022). Bahan-bahan tersebut bekerja melalui aroma yang kuat atau kandungannya yang dapat membunuh serangga dan hama penyakit, dengan contoh biopestisida yang berupa Bacillus thuringiensis (Bt) yang digunakan untuk mengendalikan hama ulat, ekstrak neem dari tanaman mimba untuk mengatasi serangga, dan Trichoderma yang efektif melawan penyakit jamur pada tanaman.
Biopestisida dapat membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap ketidakstabilan iklim di Indonesia dengan cara mengendalikan hama dan penyakit secara efektif tanpa merusak ekosistem. Penggunaan biopestisida memiliki keuntungan signifikan dalam mengurangi ketergantungan pada bahan kimia berbahaya yang selama ini banyak digunakan dalam pertanian, sebab, biopestisida cenderung lebih ramah lingkungan karena tidak mencemari tanah, air, atau udara, serta lebih aman bagi manusia dan hewan (Sundari, 2024). Sehingga, dengan menggantikan bahan kimia konvensional, biopestisida juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem, yang sangat penting untuk keberlanjutan sektor pertanian di tengah tantangan perubahan iklim. Hal ini menjadikan biopestisida sebagai solusi yang berkelanjutan bagi pertanian Indonesia.
Namun, meskipun biopestisida memiliki banyak manfaat, penerapannya di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang terlatih di sektor pertanian. Banyak petani yang belum sepenuhnya memahami cara kerja biopestisida dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap informasi, pelatihan, dan teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Selain itu, ketersediaan biopestisida di pasar lokal sering kali masih terbatas, sehingga petani lebih memilih pestisida kimia yang sudah mereka kenal dan mudah ditemukan.
Maka, dalam mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan upaya kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor pertanian. Pemerintah dapat memfasilitasi program pelatihan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan pemahaman mereka terkait biopestisida. Selain itu, perlu ada dukungan untuk mempermudah akses petani terhadap biopestisida, baik melalui subsidi, pengembangan distribusi lokal, maupun penelitian untuk menciptakan produk biopestisida yang lebih terjangkau. Sehingga, penerapan biopestisida dapat menjadi lebih efektif dan dapat mendukung keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia.
Penulis:
Ismali Yatuz Zahrok - Prodi Akuntansi, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta.
Reference:
Malihah, L. (2022). Tantangan Dalam Upaya Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Dan Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan: Sebuah Tinjauan. Jurnal Kebijakan Pembangunan, 17(2), 219--232.Â
Ula, A., & Mizani, Z. M. (2022). Pemanfaatan Limbah Kulit Bawang Putih Menjadi Biopestisida Alami pada Kelompok Tani di Desa Klorogan, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun. Jurnal Tadris IPA Indonesia, 2(1), 111--120.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H