Mohon tunggu...
Ismaliyah Yusuf Rangkuti
Ismaliyah Yusuf Rangkuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Terpilih Sayembara Menulis Cerita Anak BBSU 2020

Berpelesir, Menulis, Membaca dan Tertawa. Menulis adalah obat bagi saya yang ingin lekas pulih setiap hari; adalah perjalanan liar yang bebas saya tempuh meski tanpa kompas yang utuh; adalah cinta-kasih yang saya beri izin tumbuh meski tanpa seorang kekasih. Sepanjang nafas yang Tuhan pinjamkan, ada beberapa buku yang telah saya terbitkan. Karya utama saya adalah "Surga Tersembunyi di Pulau Nirwana" berupa cernak yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Sumatera Utara, lalu diramaikan oleh "Bangau Putih" buku puisi perdana saya. Dan beberapa buku lain berupa Antologi bersama yaitu "Ada Bena di Adiwidia", "Agrari", "Ingatan Edelweiss". Terimakasih sudah singgah dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Aku Serupa Krisan yang Gugur di Sepanjang Jalan

25 Januari 2024   16:43 Diperbarui: 25 Januari 2024   16:47 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Hari itu, kita bercerita banyak sekali tentang Tuhan dan alam semesta. Kau berada di kursi roda, sedang aku dihadapanmu dengan sepotong Roti Pau rasa abon sapi. Kau meyakini, bahwa sembuh adalah kuasa Tuhan bagi siapa saja yang percaya. Hari berlalu, nafas menghembuskan deru syukur yang tak berkesudahan. Kita ikhtiarkan segalanya, tanpa tapi, tanpa meski dan barangkali. Satu-satunya yang ingin kucapai saat itu, tak lain hanya sehatmu.

Hemodialisa menjadi ikhtiar paling patah yang kita lewati. Dua kali dalam sepekan, perjuangan itu kita semogakan untuk segala kemungkinan-kemungkinan terbaik milik Tuhan. Kantuk tidak lagi ku miliki, tidurmu yang bisa pulas dengan nafas baik-baik saja, adalah mohonku pada Tuhan setiap waktu. Hingga suatu hari, kita berbincang lewat maafmu yang tidak ku terima. Kau memohon maaf, atas kesulitan yang terjadi, padaku, pada kami. Ku bilang tidak, andalkan & susahkan kami sebanyak yang engkau mau.

Aku serupa Krisan yang gugur disepanjang jalan, Mak. Januari 2023, aku pamit, saat keadaanmu stabil di ruang hemodialisa. Ku cium tanganmu yang kasturi, namun kau pinta pipimu yang delima. Ku bilang, aku pergi dulu ya, Mak. Sebab jika tidak kembali, maka satu-satunya hati yang terluka adalah milikmu. Sekolahku adalah tropimu yang paling kau banggakan. Namun Tuhan berkehendak lain. Aku menepati janji, untuk kembali pulang di februari. Tiga puluh ribu kaki di atas permukaan laut, selepas shalat Maghrib di langit Tuhan. Aku mendapati engkau yang telah tiada, di hatiku, Tuhan membesitkannya begitu saja. Saat berjalan di garbarata, ponsel yang baru saja ku nyalakan sudah penuh dengan puluhan panggilan telepon tak terjawab.

Kau meninggalkanku, Mak. Dan tak ada ucapan selamat tinggal yang sempat ku bisikkan di telingamu. Pipimu yang kau minta untuk ku cium, adalah salam perpisahan yang tak kuharapkan. Waktu adalah almanak yang akan selalu ku hitung jumlahnya. Sampai hari dimana kita bertemu; aku menghadiahimu surga dan Tuhan menyetujuinya. Ada banyak semoga di tahun ini, dua diantaranya adalah; semoga aku bisa menjadi amal jariyah untukmu, dan tetap menjadi diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun