Mohon tunggu...
Ismalinar HS
Ismalinar HS Mohon Tunggu... -

Saya ibu rumah tangga dengan tiga anak, dosen sastra di FKIP, Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), pernah mengelola agency media cetak, perhatian pada masalah sosial, politik, sastra, dan kuliner, serta bermimpi jadi pengarang sekelas Andrea Hirata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dukungan Presiden Jokowi terhadap Haeni, Melenyapkan Sebuah Tradisi dan Budaya

13 Juni 2016   11:34 Diperbarui: 13 Juni 2016   11:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus Haeni yang membuka lapak makanan di siang bolong hingga dirazia satpol PP Serang, tetapi dibela oleh Presiden Indonesia, Bapak Jokowi adalah sebuah kasus besar. Peristiwa ini adalah awal dari hilangnya sebuah tradisi di bulan suci Ramadhan yang sudah menjadi milik masyarakat berpuluh, beratus, bahkan mungkin berabad-abad sejak Islam masuk di Nusantara. Yang pasti, sudah berpuluh tahun, sebab saya dan mungkin Anda adalah saksinya. Saat ini saya berusia 51 tahun. 

Sejak kecil saya menyaksikan tradisi tersebut. Jika bulan Ramadhan menjelang, kedai-kedai makanan ditutup. Para pedagang membuka dagangan mereka setelah sore menjelang. Sebenarnya banyak juga yang membandel. Karena alasan ekonomi atau apalah, mereka tetap berjualan, tetapi berusaha tidak terlihat menyolok. Pintu masuk dan kaca jendela mereka tutupi dengan kain. Saya suka geli melihat kaki-kaki dari betis ke bawah berjejer rapi di sebuah warung di lokasi pasar dekat rumah saya. 

Sementara, anggota badan bagian atasnya tidak terlihat. Ketika keluar dari warung, mulut mereka bersemu merah dan berminyak. Kadang-kadang, salah satunya saya kenali. Dan, saya ketahui juga bahwa dia di rumah mengaku puasa. Untung saja bukan anggota keluarga saya. Kalau iya, pasti akan saya omeli di rumah. Ketika beberapa ormas Islam masih berjaya, pedagang-pedagan tersebut sering merazia para pedagang bandel tersebut. Sekarang ormas-ormas itu tak lagi berkuku. Mereka mati kutu. Boro-boro merazia pedagang, keberadaan mereka saja bagai hidup segan mati tak mau. Namun, bagus juga, karena yang mereka lakukan, sudah melebihi kewenangan mereka sebagai ormas Islam. Apa pun alasannya.

Kota Serang di Banten adalah kota yang sebagian besar masyarakatnya menginginkan kota mereka bernuansa islami, Salah satu yang ingin mereka pertahankan adalah menjalankan tradisi tidak berjualan makanan di siang hari saat bulan puasa. Hal tersebut didukung oleh pemerintahnya dengan mengeluarkan perda. Hal ini mungkin karena secara historis, sejak dahulu kala agama Islam telah dianut sebagian besar penduduknya sehingga tradisi-tradisi dalam agama Islam berurat berakar di sana. 

Terkait hal ini, naskah-naskah kuno mencatatnya. Salah satu perda yang dijalankan satpol PP kota Serang adalah merazia pedagang yang buka dagangan di siang bolong saat bulan Ramadhan. Yang kemudian diakui oleh penguasa kota Serang sebagai sebuah kesalahan prosedur. Mungkin pengakuan tersebut muncul untuk menyelamatkan muka karena disorot media dan presiden. 

Pada dasarnya, kalau Satpol PP tersebut mengambil makanan-makanan tersebut itu keterlaluan. Jika hanya menyuruh si ibu menutup dagangannya sampai sore, berarti mereka masih beradab. Namun, yang namanya Satpol PP, memang sudah terbiasa menghancurkan barang dagangan milik pedagang yang dirazianya. Betapa banyak pedagang kali lima yang berjualan di tempat terlarang menangis histeris karena dagangan mereka dihancurkan Satpol PP di berita-berita televisi

Dengan dukungan presiden terhadap pedagang makanan di siang bolong, yang diwakili oleh Haeni, saya yakin para pedagang rumah makan merasa mendapat kartu sakti dari presiden. Mulai sekarang mereka bebas berdagang; mulai pagi, siang atau sore. Dan, akibat kartu sakti tersebut, hilang pulalah tradisi yang sudah menjadi milik umat Islam. Hilangnya sebuah tradisi, berarti hilang pula sebuah budaya yang telah diikuti masyarakat secara turun-temurun.

Kalau presiden berdalih, tradisi ini melanggar hak azasi manusia, melanggar hak masyarakat yang tidak berpuasa, melanggar hak pemeluk agama lain, bagaimana dengan perayaan Nyepi di Bali? Apa pun agama seseorang di Bali, mereka wajib menyepi. Mereka tidak boleh melakukan kegiatan. Pasar sepi, bandara sepi, tempat-tempat pariwisata sepi, apalagi kantor-kantor dan sekolah-sekolah. Mengapa presiden membiarkan? Padahal, sangat merugikan dalam segi ekonomi. Namun, presiden mendukung karena nyepi adalah tradisi dan budaya Bali yang wajib dilestarikan.

Kalau ada pembelaan bahwa dalam berpuasa, umat Islam pasti kuat menahan godaan, sehingga tidak masalah para pedagang membuka rumah makan mereka, ini adalah konteks yang berbeda. Topik tulisan ini adalah hilangnya sebuah tradisi dan budaya di lingkungan mayoritas Islam karena kasus Haeni. Terbukti benar atau tidaknya topik tersebut biarlah waktu yang akan membuktikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun