Salah satu alasan MA memidanakan dokter Ayu dan teman-teman karena tidak memberitahukan kemungkinan terburuk yang akan dialami pasien kepada keluarga pasien. Saya teringat pengalaman melahirkan dulu. Saya dirujuk ke RSCM. Di UGD diketahui bahwa air ketuban sudah habis dan posisi janin masih di atas. "Operasi!" perintah dokter kepala. "Dok, tanda tangan suami pasien belum," lapor dokter di sebelahnya sambil mendorong saya dengan berlari kecil ke ruang operasi. "Nanti menyusul, janin sudah tidak bisa bernafas," jawab sang dokter kepala. Saat itu saya masih bisa mendengarkan percakapan mereka. Saya segera dioperasi. Saat dioperasi diketahui bahwa leher janin di kandungan terlilit tali pusar sehingga tidak bisa bernafas. Sang dokter kepala menginformasikan hal itu kepada saya setelah saya dan bayi selamat. Tentu saja saya sangat bersyukur kepada tim dokter yang telah menolong dan juga kepada Alah SWT yang telah melindungi kami. Setelah mendengar kasus dokter Ayu dan kawan-kawan, saya menyadari betapa beresikonya profesi dokter. Seandainya, dokter kepala itu meminta tanda tangan suami saya terlebih dahulu, bisa saja nyawa anak kami tidak tertolong. Rupanya, semua dokter mengambil resiko menyalahi administrasi agar nyawa pasien terselamatkan. Namun, ketika pasien tetap tidak dapat diselamatkan, dokter terancam dibui karena tuntutan keluarga pasien. Ironis.
"Terima kasih Dok! Engkau siap menanggung resiko demi menyelamatkan anak kami."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H