Seperti dituturkan penulisnya bahwa kumpulan ini adalah cerita yang dikisahkan ilalang, membaca buku ini jadi berasa mendengarkan. Ringan, asyik, tapi meliuk-liuk searah angin menggerakkan. Menerpa sedih, bahagia, melankolis-sarkartis, juga ruang-ruang kosong yang bercerita tentang diam. Inilah kekuatan cerita yang dituliskan, ia muncul sebagai jelmaan realitas dengan balutan kostum imajinasi lewat bahasa dan kata. Tapi, kisah ilalang di sini memiliki satu kekuatan yang menarik karena ‘ilalang’ adalah perempuan yang berkisah tentang perempuan, sebagaimana digagaskan oleh Kate Millet (1970) tentang sexual politics bahwa teks-teks memiliki hubungan seksualitas dengan penulisnya. Maka lahirlah tokoh-tokoh perempuan yang perempuan sekali karena dituturkan dan digambarkan oleh perempuan.
Saya tertarik dengan tokoh perempuan yang dilakonkan oleh Mbak Elly. Ada Aida, Seol, Nana, Pemetik Kopi, Mama Iwan, dan seterusnya. Semua adalah perempuan tangguh, berani, dan progresif dalam versinya masing-masing. Konfliknya juga beragam, tentang kehidupan modern, dan berperspektif gender. Aida misalnya yang menjadi korban kekerasan terhadap pacar, dan pada akhirnya harus mengambil jalan hidupnya sendiri bersama bayi yang dilahirkannya. Seol yang berteguh hati dengan keputusan untuk bercerai demi kehidupannya yang lebih baik. Meskipun, Mbak Elly juga menggambarkan ketakberdayaan perempuan, seperti Mama Iwan yang masih berbicara dalam diam menggapi perselingkuhan suaminya.
Saya tak membaca keseluruhan cerpen Mbak Elly, tapi saya akan coba membahas secara detil salah satu cerita dari sisi kepenulisan. Ambil contoh “Sebab Kenapa Ia merasa Hampa”. Jika saya tak salah baca, kisah dimulai ketika seorang perempuan tiba di sebuah bandara kota tempat ia dilahirkan dan ayahnya tinggal. Ia baru saja menengok ayahnya yang sakit, dan pagi itu ia akan meninggalkan kota itu kembali ke kota di mana ia tinggal. Tapi, dia harus menempuh jarak yang jauh, transit di Ibukota, baru kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Sambil menunggu penerbangan, di bandara Jakarta ini dia berkirim sms dengan kawan lamanya. Ia juga sempat memperhatikan seorang perempuan yang pada saat berikutnya ketika ia sampai di rumah diketahui sebagai selingkuhan suaminya.
Membaca paragaraf 2-4, saya sempat bingung, dan membaca beberapa kali untuk menangkap cerita sebenarnya. Menurut saya, akan lebih bagus kalau untuk awal cerita difokuskan pada salah satu setting cerita saja. Misalnya:
Pukul 12.00 . Ia telah berada di bandar udara yang kedua, setelah menempuh perjalanan dua jam dari bandar udara yang pertama. Setelah melepas penat rindu untuk ayahnya yang terbaring sakit di kampung halaman, kini waktunya ia kembali ke suami dan anak-anaknya. Tapi, perjalanan pulangnya belum usai. Dari bandar udara Jakarta yang riuh ini, ia masih akan melanjutkan penerbangan sekali lagi. Jadi, jika ditotal, dalam sehari ia sudah melompat-lompat dari bandara satu ke bandara yang kedua lalu ketiga. Sempitnya dunia.
Ia segera melapor ke meja transit. Masih ada jeda waktu satu jam, dan ia harus menyiasatinya dengan baik. Kakinya bergerak menuju ke sebuah lounge, menyamankan tubuh dalam suasana meninggu. Begitu ia menikmati suasana. Memesan menu makan siang sederhana, membaca koran, dan memeriksa email. Aroma kopi semerbak menghidupkan indera penciumannya, ia menghirupnya pelan-pelan. Hirupan kehangatan yang membuat matanya terpejam. Tengah ia menikmati regukan demi regukan secangkir kopi nya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan ia terima.
Menurut saya, bercerita dengan model kronologis dari A sampai Z dengan detil kadang tidak begitu efektif, terlalu panjang, dan melelahkan. Seperti kita mengajak pembaca untuk mengikuti setiap detil perjalanan, padahal sebenarnya tidak semua kejadian itu musti dijelaskan kepada pembaca. Yang penting adalah cerita bukan detil kronologinya, kecuali kalau bagian itu memang urgen dan sangat mempengaruhi cerita. Setelah paragraph ini, dimulailah sesi sms-an antara si tokoh dengan kawan lamanya. Menurut saya, ini lumayan panjang dan belum tergali urgensi bagian ini dengan ending cerita, yaitu bahwa ia tahu kalau suaminya selingkuh. Mungkin perlu dibuat kalimat yang menghubungkan atau menjadi benang merah antara keduanya. Bahwa, ia sebenarnya juga berpotensi untuk selingkuh misalnya, tapi dia memilih untuk tidak.
Sebagai tambahan, menurut saya, ending yang menunjukkan bahwa “cerita ini adalah ilusi” atau “tentu saja hanya fiksi, lagi”, akan lebih bagus kalau dihapus karena sebagai pembaca saya merasa dikecewakan. Ketika saya membaca Ken Aida, saya merasa seperti didekatkan dengan realitas, dan memang itu realitas. Banyak kisah nyata tentang kekerasan terhadap pacar, hamil di luar nikah, dan perempuan memutuskan untuk struggle. Tapi, ketika saya membaca “tentu saja hanya fiksi, lagi”, saya jadi menyesal sudah membaca cerita yang seolah dibuat-buat. Menurut saya, beda antara fiksi dan non-fiksi itu tipis sekali, karena apa yang kita jumpai dalam fiksi itu sebenarnya juga kita jumpai dalam duna non-fiksi. Bahasa dan pengungkapannya saja yang berbeda. Dan, menurut saya, tanpa dijelaskan bahwa ini fiksi, pembaca sudah tahu bahwa ini adalah tulisan fiksi, artinya realitas yang dituangkan dengan bumbu imajinasi dan pencitraan sehingga bisa ditangkap dan digambarkan dengan jelas lewat bahasa.
Over all sebagai penutup, kisah ilalang ini cuma memerlukan editing bahasa dan polesan supaya terbaca trengginas dan tajam. Kalaupun ia adalah ilalang yang meliuk-liuk oleh gerakan angin, maka buatlah liukan yang menjejak hati dan ingatan pembaca. Sekali lagi selamat atas terbitnya buku ini, dan segera menyusul terbitan yang lain.
Salam,
Isma