Sebut saja Mang Taryo, beliau adalah seorang yang usianya sudah berkepala 5. Memiliki 4 orang anak dan 7 orang cucu. Keseharian beliau adalah berjualan pecel bersama sang istri. Ketika tidak membantu istrinya, beliau pergi ke kebun untuk bertanam dan mengurus kebun pisangnya.
Warung pecel istrinya ramai pengunjung, siap berdiri sampai dua jam jika memesan pecel atau rujak buah. Â Selain pecel dan rujak buah, beliau juga menyediakan aneka gorengan baik tempe, pisang tahu dan yang lainnya. Awalnya aku tak begitu mengenalnya bahkan tidak mengenalnya.
Baberapa hari, aku melihat beliau duduk diteras mushola setiap jam 9 pagi. Sepertinya beliau sedang berjemur mengingat masa covid 19 masih merebak saat itu. Meski beliau setiap pagi berkemur di teras, tak pernah kita salibg sapa. Sampai suatu hari suamiku mendekat. Selang beberapa menit nereka terlihat berbincang serius.
Perbincangan mereka tidak cukup satu jam, sampai akhirnya mereka pindah di teras rumah. Disinilah aku mendengar percakapan serius mereka.
"yuk... Sekarang ambil air wudhu" pinta suami ke Mang Taryo.
Aku masih terdiam memperhatikan mereka, sambil mengawasi si kecil bermain mobil-mobilan. Aku beranjak membuntuti suami yang masuk rumah untuk wudhu, sedangkan Mang Taryo wudhu di tempat wudhu mushola.
"ada apa yank..." tanyaku membuntuti suami berjalan.
" minta di doain, kasihan katanya mimpi buruk terus, setelah tadi ditanya mengakui dosa-dosanya" jelas singkat suami.
Aku pun menghentikan penasaranku. Melihat ke duanya masuk mushola. Ku dengar dari luar suara isakan tangis yang tak henti. Aku pun memelankan suaraku ketika bermain dengan si kecil. Ke duanya keluar dengan mata sembab. Mang Taryo terlihat mengusap mata dan hidungnya. Beliau pun pamit, dengan membawa sebotol air mineral.
Selang beberapa hari, aku tertegun ketika diluar terdengar suara bapak-bapak yang sedang membaca Iqro. Aku mengintip dari jendela kamar. Ternyata beliau adalah Mang Taryo. Lelaki tua yang kemarin nampak bersedih, belajar ngaji mulai dari Iqro jilid 1. Usai ngaji, suami kembali ku beri pertanyaan beruntun sampai akhirnya suami pun bercerita.
"Mang Taryo, dari kemrin berjemur disini pengin ngobrol sama aku, tapi bingung, makanya dia hanya duduk di teras sambil berjemur dan nunggu waktu senggangku. Mang Taryo saat ini sedang sakit lambung yabg tak kunjung sembuh, beliau bermimpi tentang kematian terus menerus. Beliau takut karena beliau merasa belum punya bekal untuk mati. Hatinya tergerak ingin bertemu denganku. Setelah kita ngobrol beliau bercerita kalau dulu beliau pernah makan makanan haram, beliau belum bisa sholat lima waktu, selalu sibuk dengan dunia. Sekarang beliau ingin bertobat, makanya kemarin kita sholat tobat, aku tuntun Mang Taryo untuk sholat tobat, beliau hanya nangis tersedu-sedu. Nah, sejak itu Mang Taryo minta ikut ngaji. Biar sudah tua, ngaji alif alif an kan nggak masalah, yang penting mau usaha."
Begitu suami menjelaskan panjang lebar.
"iyah nggak salah... Alhamdulillah hidayah datang pada Mang Taryo ya..." aku pun mengerti bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar selama kita masih bernafas, bertaubat sebelum terlambat dan hidayah datang bisa kapan saja. Kita hanya bisa berdoa semoga kita selalu di beri rahmat agar kita menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H