Mohon tunggu...
Ismail Yusuf
Ismail Yusuf Mohon Tunggu... Hotelier -

Mencari sahabat lama, menemukan sahabat baru...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Melihat Hujan Dan... Turun

28 Maret 2014   00:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kamu terdiam dengan tatapan kosong itu lagi. Aku tahu jiwamu tak di sini lagi, meski tak tahu pasti ke mana. Mungkin kembali ke cerita lama yang belum lama kandas. Mungkin ke masa depan bersamanya yang kini hanya menyisakan “andai saja”. Atau mungkin hanya bersembunyi di balik kusutnya benang rasamu, berharap menghilang dari dunia.

“Sudahlah. Mau sampai kapan?” Begitu tanyaku yang kemudian hanya kaujawab dengan seulas senyum. Ah, senyum itu lagi. Senyum yang tak mencapai matamu. Dua kristal itu hanya memancarkan cahaya sendu.

Tapi tak setetes pun kesedihan terjatuh dalam bentuk air matamu. Apa yang sedang kaulakukan? Apa yang ingin kau buktikan?

“Aku bukan orang yang cengeng,” jawabmu ketika kupersilakan kau menangis waktu itu. Ah. Begitu tangguh, begitukah pikirmu? Bahwa kau begitu kuat dan berani sehingga menangis adalah pantangan.
Bukankah kamu sama lemahnya dengan mereka yang terus menangis? Bahkan setidaknya mereka berani untuk menunjukkan diri. Sedangkan kamu? Bersembunyi di balik senyum kosongmu, seolah semuanya baik-baik saja. Bukankah justru kamu yang lebih ketakutan? Kamu takut terlihat lemah, kau takut mereka menganggapmu mudah diinjak. Kamu justru lebih lemah dari mereka yang menangis.

“Kamu tahu? Butuh keberanian untuk mengakui bahwa kamu tidak baik-baik saja. Dan tak mengapa jika terkadang kamu tidak baik-baik saja. Kamu masih manusia.”

Kamu terdiam. Kulihat sudut bibirmu bergetar. “Tak apa. Menangislah.”

Dan di sini, kutemukan dirimu yang selama ini bersembunyi di balik tembok ketakutanmu. Bulir-bulir ketakutanmu pun menyusuri pipimu. Kau tampak sedih, benar-benar kacau. Tapi perlahan aura kelegaan mulai menguar di sekitarmu.

Sejenak aku terdiam, menyadari betapa hipokritnya aku. Mungkin sudah saatnya juga kubiarkan dinding ketakutanku yang bertahun-tahun kubangun runtuh. Membiarkan semua keresahan dan luka yang ada dibaliknya hanyut dibawa hujan yang mengalir dari mataku.

Kutatap cermin di hadapanku, dapat kulihat kamu di sana, menatapku kembali. Hujan masih mengalir dari kedua kristal di wajahmu, dari kedua mataku. Dan di antara hujan kutemukan sekilas pengharapan. Setelah ini pelangi akan terbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun