Pancasila bukanlah sekadar dokumen sejarah yang tertata rapi di tempat arsip. Pancasila adalah filosofi kehidupan yang terus berubah dan berkembang seiring dengan perubahan yang kompleks dan beragam di negara kita. Dalam konteks saat ini, figur Gus Miftah menjadi salah satu ilustrasi menarik tentang bagaimana prinsip-prinsip kebangsaan diuji dan ditafsirkan ulang dalam konteks kontemporer.Â
Gus Miftah, seorang dai muda yang sering menyebabkan perdebatan, sebenarnya adalah representasi dari generasi milenial yang tidak ingin terjebak dalam cara berpikir konvensional. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual, yang seringkali membuat sebagian orang tidak nyaman, ia berusaha membongkar batas-batas norma keagamaan.
Kasus Gus Miftah yang menghina penjual es teh saat berdakwah membuka diskusi penting tentang pendidikan, nilai-nilai kemanusiaan, dan etika dalam konteks Pancasila. Tampaknya sederhana, tetapi memiliki dimensi pendidikan yang sangat mendalam dan kompleks. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila, mengajarkan pentingnya hormat-menghormati sesama manusia, terlepas dari status sosial, pekerjaan, atau latar belakangnya.Â
Merendahkan seorang penjual es teh adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar ideologi bangsa kita.
Pendidikan sejatinya mencakup pembentukan karakter yang berharga, bukan hanya pembelajaran. Kasus Gus Miftah menunjukkan bagaimana sistem pendidikan kita masih gagal menanamkan kesadaran sosial dan empati yang mendalam.
Dalam arti sebenarnya, dakwah adalah praktik yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar ceramah atau pidato. Merendahkan orang lain, terutama jika dilakukan oleh seorang pendakwah publik, menunjukkan bahwa dia tidak memahami apa arti dakwah.
Pancasila menuntut kita harus selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap manusia. Sesuai dengan sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak ada perbedaan martabat antara seorang penjual es teh dan siapa pun, termasuk pemimpin atau tokoh masyarakat. Untuk menghasilkan generasi yang memiliki kesadaran sosial yang tinggi, sistem pendidikan di negara kita memiliki tanggung jawab besar.Â
Kasus Gus Miftah menunjukkan bahwa pendidikan karakter kita masih jauh dari harapan, dengan rasa hormat dan empati belum terinternalisasi sepenuhnya.
Media sosial telah menciptakan ruang publik baru di mana perilaku tidak santun sering dipromosikan. Merendahkan orang lain seolah-olah menjadi barang hiburan di platform digital. Hal ini berarti bahwa pendidikan harus berfokus pada pembentukan etika digital yang berharga.Â
Pendidikan Pancasila tidak terbatas pada hafalan atau ceramah. Dibutuhkan pendekatan pembelajaran melalui pengalaman yang memungkinkan siswa mempelajari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan saling menghormati secara langsung. Kasus Gus Miftah menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana kita memberi tahu generasi muda tentang martabat kemanusiaan? Bagaimana mengembangkan kesadaran bahwa setiap pekerjaan memiliki nilai yang sama?
Lembaga pendidikan dan perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam mentransformasi paradigma berpikir. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membuat lingkungan belajar yang menghargai setiap orang, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau profesional mereka.Â