Mohon tunggu...
Ismail Fahmi
Ismail Fahmi Mohon Tunggu... -

a spare timer photographer, a part timer movie maker, a free timer writer, a full timer husband and father

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berguru pada Anak

10 April 2012   07:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334043892907119762

Orang tua lah yang mengajarkan dan mendidik anak-anak. Itulah anggapan yang umum diyakini banyak orang. Benarkah?

(besar kemungkinan) Semua orang tua berharap anak mereka kelak sukses dunia dan akhirat. Sebut saja beberapa ukuran dasar ‘sukses’ bagi orang tua atas anak-anaknya: berakhlak mulia, berprestasi di dalam dan luar sekolah, memiliki karier yang cemerlang, berhasil membina rumah tangga dan selamat di akhirat.

Jelas, menyiapkan anak untuk mencapai beberapa ukuran umum tentang sukses tersebut tidaklah mudah.

Meminta anak untuk rajin belajar saja tidaklah cukup. Orang tua perlu memberikan contoh bagaimana bekerja dengan rajin itu.

Meminta anak untuk shalat dengan rajin dan sesuai waktunya itu juga tidak cukup. Orang tua perlu lebih dulu menunaikan shalat yang juga sesuai waktu.

Meminta anak untuk berbicara santun dan berpekerti luhur jelas juga tidak cukup. Orang tua perlu menjadi teladan dengan berbicara santun dan berpekerti luhur.

Singkatnya, orang tua harus menjadi contoh yang baik buat anak-anaknya.

Buang jauh-jauh harapan bahwa anak akan sukses jika sang anak belum melihat ‘cahaya’ sukses itu dari orang tuanya sendiri. Orang tua perlu sukses terlebih dahulu karena cermin pertama anak dalam hidupnya adalah orang tuanya sendiri.

Menjadi ayah dalam satu tahun satu bulan terakhir ini mengajarkan saya banyak hal. Saya semakin berhati-hati memilih kata-kata ketika berbicara dan memilih perilaku yang tepat ketika berinteraksi. Terutama, ketika anak melihat dan mendengar langsung tutur kata dan perilaku saya sebagai orang tua. Anak seperti ‘supervisor’ pribadi saya.

Dia memang belum banyak tahu tentang baik-buruk dan benar-salah. Karena itu, saya lah yang mau tidak mau harus bisa menggambarkannya secara nyata tentang apa yang baik atau benar dan buruk atau salah. Hanya dengan memberikan contoh anak saya dapat memahaminya.

Dalam ‘ketidakberdayaan’ anak saya, ia sejatinya sedang mengajarkan saya untuk menjadi orang tua yang ‘sepatutnya’. Alih-alih saya mengajarkannya, anak saya lah yang ternyata sedang mendidik saya. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun