Orang tua lah yang mengajarkan dan mendidik anak-anak. Itulah anggapan yang umum diyakini banyak orang. Benarkah?
(besar kemungkinan) Semua orang tua berharap anak mereka kelak sukses dunia dan akhirat. Sebut saja beberapa ukuran dasar ‘sukses’ bagi orang tua atas anak-anaknya: berakhlak mulia, berprestasi di dalam dan luar sekolah, memiliki karier yang cemerlang, berhasil membina rumah tangga dan selamat di akhirat.
Jelas, menyiapkan anak untuk mencapai beberapa ukuran umum tentang sukses tersebut tidaklah mudah.
Meminta anak untuk rajin belajar saja tidaklah cukup. Orang tua perlu memberikan contoh bagaimana bekerja dengan rajin itu.
Meminta anak untuk shalat dengan rajin dan sesuai waktunya itu juga tidak cukup. Orang tua perlu lebih dulu menunaikan shalat yang juga sesuai waktu.
Meminta anak untuk berbicara santun dan berpekerti luhur jelas juga tidak cukup. Orang tua perlu menjadi teladan dengan berbicara santun dan berpekerti luhur.
Singkatnya, orang tua harus menjadi contoh yang baik buat anak-anaknya.
Buang jauh-jauh harapan bahwa anak akan sukses jika sang anak belum melihat ‘cahaya’ sukses itu dari orang tuanya sendiri. Orang tua perlu sukses terlebih dahulu karena cermin pertama anak dalam hidupnya adalah orang tuanya sendiri.
Menjadi ayah dalam satu tahun satu bulan terakhir ini mengajarkan saya banyak hal. Saya semakin berhati-hati memilih kata-kata ketika berbicara dan memilih perilaku yang tepat ketika berinteraksi. Terutama, ketika anak melihat dan mendengar langsung tutur kata dan perilaku saya sebagai orang tua. Anak seperti ‘supervisor’ pribadi saya.
Dia memang belum banyak tahu tentang baik-buruk dan benar-salah. Karena itu, saya lah yang mau tidak mau harus bisa menggambarkannya secara nyata tentang apa yang baik atau benar dan buruk atau salah. Hanya dengan memberikan contoh anak saya dapat memahaminya.
Dalam ‘ketidakberdayaan’ anak saya, ia sejatinya sedang mengajarkan saya untuk menjadi orang tua yang ‘sepatutnya’. Alih-alih saya mengajarkannya, anak saya lah yang ternyata sedang mendidik saya. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H