“Hae Baso, bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulillah, baik. Kenapa memang?”
“Oh saya kira, kamu sakit. Saya dengar di rumahmu ada kalajengking. Benar?”
“Ah tidak ada. Siapa yang bilang?”
“Orang-orang semua bilang. Satu kampung bilang di rumahmu ada kalajengking besar dan berbisa. Semua orang membicarakannya.”
“Ah masa? Saya sendiri tidak pernah lihat. Padahal rumahku sendiri.”
“Mungkin kamu kurang teliti. Pasti ada di tempat-tempat tersembunyi.”
“Terus, dari mana orang-orang tahu dirumahku ada kalajengking? Apa pernah ada yang melihatnya?”
“Saya juga tidak tahu. Tapi kata orang-orang begitu. Mungkin saja pernah ada yang lihat. Sebab ini sudah dibicarakan satu kampung.”
“Akh, itu hanya isu yang tidak berdasar. Dirumahku tidak ada kalajengking. Saya saksinya. Itu rumahku, dan saya tinggal di dalamnya. Tidak sekalipun saya melihat ada kalajengking. Buktinya juga, saya aman-aman saja.”
“Pasti ada Baso. Orang satu kampung tidak mungkin bohong semua.”
“Buktinya, saya tidak pernah lihat…”
“Tapi itu bukan bukti, bahwa benar-benar tidak ada bukan?”
“Memang benar. Tapi apa hak orang lain untuk mengurusi rumahku?”
“Kalajengking itu berbahaya Baso, tidak bisa dibiarkan. Dia bisa berkembang biak dan jadi banyak. Bisa menjalar kerumah-rumah tetangga dan menteror warga kampung.”
“Iya, tapi saya mau apa? Saya sendiri tidak pernah melihatnya dirumahku. Kalau saya lihat, saya juga akan bunuh.”
“Bunuh? Kau bahkan memeliharanya. Istri dan anak pertamamu mati, karena disengat kalajengking kan? Semua orang bilang begitu.”
Baso tercekat. Setahunya istri dan anaknya mati karena kena demam berdarah. Ia kekurangan uang untuk membayar biaya perobatan. Sehingga perawatan istri dan anaknya pas-pasan dan seadanya sampai akhirnya meninggal dunia. Dan sayangnya, tidak ada warga kampung yang peduli.
Isu adanya kalajengking di rumah Baso makin santer. Warga kampung membicarakannya dimana-mana. Tetangga-tetangga Baso mulai melarang anak-anaknya bermain dengan anak-anak Baso di teras rumah Baso. Bahkan sekedar berjalan di depan rumah Basopun mereka dilarang. Mereka harus jalan memutar. Alasannya, di rumah Baso ada kalajengking. Bahaya.
Kepanikan warga tidak bisa dibendung lagi. Bahkan isu adanya kalajengking makin melebar. Sekarang malah beredar isu, di rumah Baso juga ada ular sanca, ratusan lipan dan binatang-binatang berbisa lainnya. Meskipun tak ada satupun yang pernah melihatnya. Tapi mereka menelan kabar itu mentah-mentah. Mereka makin jadi panik sendiri. Suasana kampung tampak tegang. Masalah ini dibawa ke kepala kampung. Baso dijemput untuk di bawa ke rumah kepala kampung. Baso diinterogasi dengan kepala kampung, imam masjid, ketua adat dan tokoh-tokoh masyarakat.
“Hei Baso, betul di rumahmu ada kalajengking?”
“Tidak ada pak. Itu bohong. Saya sendiri tidak pernah melihatnya.”
“Bohong pak kepala. Dia bukan hanya melihatnya tapi juga memang memeliharanya.” Teriak seorang warga.
“Saya tidak bohong. Kalau tidak percaya silahkan lihat dan cek sendiri ke rumah saya.”
“Baso pasti sudah menyembuyikannya pak kepala…”
Suasana makin ramai. Ratusan warga berteriak meminta Baso untuk mengaku. Dia mulai di dorong-dorong. Dengan sigap kepala kampung mengambil kebijakan.
“Baiklah, kita sekarang ke rumah Baso, untuk mengeceknya…”
“Tidak usah dicek Pak. Langsung bakar saja…”
“Iya.. bakar saja… dicek juga percuma, pasti sudah disembunyikan…” teriak lainnya.
“Baiklah.. baiklah… kita kerumah Baso…” wajah kepala kampung, ikut-ikutan tegang.
Baso diseret menuju rumahnya sendiri. Sambil dipelintir hansip, ia disuruh bergegas jalan. Tidak sedikit warga yang tanpa belas kasihan memukuli wajah Baso. Ada yang bahkan meludahinya. Baso diam saja. Tertunduk malu. Dia dituduh hendak meneror warga dengan kalajengking piaraannya.
Sesampai di halaman rumah Baso. Warga yang beringas malah tidak bisa dikontrol. Teriakan “Bakar!!!” semakin menggema. Suasana memanas ketika seorang warga melempari atap rumah Baso dengan obor. Api menjalar dengan cepat. Kepala kampung tidak bisa berbuat apa-apa. Baso teriak panik. Di dalam rumahnya, ada anak-anaknya yang sedang tertidur lelap. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berteriak karena tangannya dipelintir dari belakang. Api makin membesar.
Dua jam kemudian. Rumah Baso yang hampir semuanya dari kayu itu habis tak bersisa. Warga mulai meninggalkan tempat itu satu demi satu. Senyum puas tampak dari wajah-wajah mereka. Mereka puas karena merasa berhasil menyelamatkan warga kampung dari teror kalajengking piaraan Baso. Meski tak satupun yang menemukannya, tapi mereka percaya, kalajengking-kalajengking itu telah mati terpanggang.
Tubuh Baso sedemikian melemah. Ia terkulai lemas. Ia sudah dari tadi dilepaskan dan dibiarkan terduduk di tanah. Airmatanya tidak juga berhenti mengalir membasahi luka diwajahnya karena bogem mentah. Ia terisak meratapi nasibnya yang terus dirundung duka. Ditinggalkan orang-orang dikasihinya dan rumah, satu-satunya harta miliknya. Peralatan kerjanya sebagai tukang kayu, juga hangus tak bersisa.
Imam masjid kampung mendekatinya. Mengangkat tubuhnya. Dan sambil tersenyum ia berkata, “Baso, bersabarlah ini ujian dari Tuhan. Hadapi semua ini dengan ikhlas. Bersyukurlah, karena kau masih hidup. Berterimakasihlah kepada semua warga yang telah berhasil menyelamatkanmu dari sengatan kalajengking. Memang mereka seolah-olah tampak membencimu, tapi sebenarnya mereka melakukan ini untuk menyelamatkanmu. Kerasnya mereka karena ingin kau hidup normal. Tidak bersama dengan binatang-binatang berbisa yang bisa kapan saja membunuhmu.”
Baso masih terisak, meskipun mulai melemah.
“Yang tabah ya Baso…”
[Qom, 7 November 2014]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H