Civitas Academica diborgol kebebasan mengekspresikan diri lewat pasung aturan "Gondrong tidaklah rapih". Sebuah aturan umum yang diketahui semua pelajar bahkan tanpa harus dipahat kalimatnya di tembok-tembok sekolah. Dinilai tidak rapih dan kurang beretika ketika ada pelajar dengan sengaja membiarkan rambutnya panjang tanpa dipotong.Â
Sebuah adat dalam budaya belajar-mengajar yang dapat kita temukan bahkan sebelum hari pertama KBM (kegiatan belajar mengajar) dimulai. Masa orientasi adalah waktu dimana kita diperkenalkan dengan lingkungan belajar dan belum dilaksanakan KBM, sedang dilarang gondrong dan harus rapih sudah ditetapkan.
Sebuah aturan yang tidak memberi kebebasan bagi segelintir pihak. Dengan alasan "rambut gondrong tidak menggangu proses belajar" mereka melempar argumen mereka di pojok-pojok kelas tidak di depan guru tentunya. Berbanding terbalik dari film-film negeri asing yang menampilkan siswa dengan rambut panjang. Pernahkah berpikir darimana aturan rambut gondrong dilarang?
Instruksi  Pangkopkamtib Jendral Soemitro lewat radiogram No. SHK/1046/IX/73. isinya melarang anggota TNI dan karyawan di lingkungan tentara beserta seluruh keluarganya berambut gondrong. Dampaknya adalah munculnya doktrinisasi yang disampaikan lewat media bahwa berambut gondrong adalah negatif dan tidak mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa.
"Di situ Pangkopkamtib mengatakan bahwa rambut gondrong amat erat hubungannya dengan sikap acuh-tak-acuh angkatan muda terhadap ikatan-ikatan pergaulan dalam masyarakat teratur. Sikap itu meskipun belum tentu negatif, tetapi memang banyak menimbulkan keberatan" kata Jendral Soemitro dalam wawancara televisi terkait gondrong yang dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam karyanya "Rambut Gondrong Suatu Kemewahan?"
Rambut gondrong diidentikan dengan kriminalisme, urakan, pengangguran, sulit diatur, dsb. Dampak dari dikeluarkannya aturan itu adalah lahirnya sebuah penjara ekspresi di SMP-SMA se-DIY berupa siswa dilarang gondrong. Inilah yang menjadi ibu bagi anak-anaknya yang kini tersebar di tiap sekolah seluruh tanah air.
Maka argumen "gondrong tidak menggangu proses belajar" tidaklah tepat jika ditabrakan dengan aturan rambut rapih. Karena pada dasarnya aturan ini dibuat karena rambut gondrong dinilai tidak bisa mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak menyinggung frasa "menggangu proses belajar". Lantas apakah gaya rambut dapat mencerminkan kepribadian bangsa?
Ketika rambut gondrong selalu diidentikan dengan nilai negatif, maka sesungguhnya ada hal-hal yang kita tolak kebenarannya. Contohnya dalam goresan pena otobiografinya Ali Sastroamidjojo (1974:198) menuliskan bahwa pemuda berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal tahun 1946.Â
Francisca Fanggidaej dalam tulisannya mengutarakan kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda pekik salam merdeka memenuhi ruang udara kota dan kebanyakan dari mereka adalah pemuda gondrong dengan kain merah yang terikat dikepalanya.
Fakta diatas agaknya cukup kuat sekedar untuk menampikan doktrin bahwa rambut gondrong adalah penggambaran sikap apatis (acuh-tak-acuh). Maka perhatian yang diberikan dalam tugas suci merapihkan rambut rakyat agak kurang pas jika didasari sikap acuh-tak-acuh dan image negatif yang kepalang ter-label di masyarakat. Nilai pribadi suatu bangsa seharusnya tidak dilihat dari gaya rambut, penyeragaman ini justru mengekang ekspresi bangsa dan menolak prinsip dasar perbedaan.Â
Dalam konteks yang lebih serius aturan ini melahirkan Bakorperagon "Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong". Menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi pemuda gondrong 70an. Terlebih  jika ada tato terlukis pada tubuhnya, secara tidak langsung dia akan dicap sebagai hantu masyarakat yang harus dinetralkan oleh cenayang pemerintahan.Â