Mohon tunggu...
Ismail Zubir
Ismail Zubir Mohon Tunggu... -

Peneliti Balitbang Kementerian Agama RI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Religiusitas Masyarakat Minangkabau dan Kebebasan Beragama/HAM Pasca UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999

21 Januari 2011   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 7564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Abstrak

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan falsafah masyarakat Minangkabau. Sebagai komunitas budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, tidak berlebihan jika masyarakat Minangkabau dikatakan masyarakat yang religius. Religiusitas masyarakat Minangkabau tercermin dalam petatah, petitih, mamangan, petuah, yang dipakai dalam bebagai rangkaian kegiatan ke-adatan. Falsafah Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah memberi format yang jelas akan identitas masyarakat Minangkabau. Falsafah adat tidak menafikan bahwa masyarakat Sumatera Barat merupakan masyarakat yang majemuk, bahkan memberi ruang kepada setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing sesuai dengan Hak Asasi Manusia, namun lahirnya otonomi daerah seakan memberi ruang bagi masyarakat Minangkabau untuk memberdayakan identitas budaya lokal ke dalam regulasi-regulasi “kedaerahan”

Kata kunci:• Religiusitas • Masyarakat Minangkabau

• Kebebasan Beragama • Hak Asasi Manusia

Otonomi Daerah

Pendahuluan

Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang mempunyai khazanah budaya yang khas. Selain memiliki budaya tinggi dan karakteristik yang kuat, masyarakat Minangkabau juga mempunyai institusi yang mapan untuk menopang pola hidup dan tingkah laku anggota masyarakatnya. Pola tingkah laku dalam beradat dan beragama diatur sedemikian rupa dalam wadah yang sering disebut oleh komunitas lokal dengan surau, nagari, dan suku.

Sebagai masyarakat adat, masyarakat Minangkabau meyakini bahwa norma-norma, tata nilai yang terkandung di dalam ajaran adat merupakan pedoman hidup yang didasari oleh kontemplasi yang dalam terhadap fenomena alam. Nilai filosofis yang terkandung ajaran adat itu dimaknai sebagai falsafah hidup, sebagaimana pepatah Minang mengatakan Panakiak pisau sirauik, Ambiak galah batang lintabuang, Salodang ambiak ka niru, Nan satitiek jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru (Moenir 1985:47).

Menurut De Josselin de Jong PE (1995, h.85), secara kultural orang Minang selalu menjadikan Adat Alam Minangkabau menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai suatu kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas. Oleh orang Minang, adat yang merupakan kompleksitas dari kebiasaan, norma-norma, kepercayaan dan etika mempunyai arti ganda. Adat berarti kumpulan kebiasaan setempat, dan adat juga dianggap sebagai keseluruhan sistem struktural masyarakat. Dalam konteks ini, adat adalah seluruh sistem nilai, dasar dari keseluruhan penilaian etis dan hukum, dan juga dipahami sebagai sumber dan harapan sosial yang mewujudkan pola perilaku ideal. Atas keyakinan terhadap adat sebagai sistem nilai, sistem norma, sistem sikap, dan sistem perilaku, menuntun mereka memahami tentang hakikat kehidupan, hakikat hubungan manusia dengan manusia, hakikat hubungan individu dengan komunitas dalam masyarakat dan lain-lain.

Jauh sebelum Islam datang ke ranah Minang, masyarakat Minangkabau sudah mempunyai tata nilai, aturan hidup (way of life) yang jelas. Adat sebagai doktrin sosial masyarakat Minangkabau berlaku universal. Sebagaimana petatah minang, Jikok dibalun sabalun kuku (Seandainya digumpal sekecil kuku), Jikok dikambang saleba alam (Kalau digelar selebar alam), Walau sagadang bijo labu (Walau sebesar biji labu), Bumi jo langik ado di dalam (Bumi dan langit ada di dalam). Islam datang ke Minangkabau membawa perubahan budaya. Akulturasi Islam dan adat terjadi bukan tanpa perjuangan. Perang Padri menjadi bukti sejarah bahwa Islam sebenarnya dapat diterima di komunitas budaya Minangkabau tanpa harus mengubah tatanan yang telah mapan.

Masyarakat Minangkabau dikenal sangat erat memegang falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulllah, sehingga ketika reformasi 1998 bergulir dan otonomi daerah dicanangkan, maka munculah regulasi-regulasi lokal (perda syariah) yang mencoba mengatur religiusitas masyarakatnya, sehingga warga minoritas (non muslim) di Sumatera Barat, merasa berkeberatan dengan adanya “perda syariah” tersebut. Di antara perda tersebut ialah Intruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 tentang kewajiban mengenakan jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Muslim).

Persinggungan komunitas Muslim (baca: orang Minang), yang secara kultural erat memegang prinsip keadatan dan keislaman, dengan kaum minoritas mengenai perda syariah menyulut kontroversi di ranah konstitusi. Para penggiat kebebasan beragama dan hak asasi manusia sangat menentang perda yang dimilai bersifat primodialisme ini.Menurut mereka, tatanan demokrasi yang mulai dibangun pasca reformasi ternyataberbuah degradasi toleransi antarumat beragama, bahkan mulai menjalar ke arah Islamisasi ruang publik.

Di sisi lain, negara menjamin kebebasan warga negara untuk beragama, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beibadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 22, ayat 1 dan 2).

Bagi masyarakat Minangkabau, identitas lokal amat penting untuk dipertahankan, terlebih persoalan yang bersinggungan dengan falsafah adat. “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” merupakan harga mati bagi masyrakat Minangkabau karna sebagai tatanan sosial, adat merupakan solusi dalam memecahkan setiap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat Minang sedangkan syarak di yakini penuh oleh masyarakat Minang sebagai pedoman hidup masyarakat minangkabau yang notabene berideologikan Islam. Baik adat maupun syarak sama-sama bersendikan kitabullah,sehingga output adat maupun syarak wajib mengacu pada ketentuan kitabullah.

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan religiusitas masyarakat Minangkabau yang secara historis-sosio-kultural sangat erat dengan nilai-nilai syariat Islam, hal tersebut tercermin dalam falsafah adat yangterkenal dengan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Regulasi “syariah” yang di terbitkan oleh sebagian Pemerintah Daerah di Sumatera Barat merupakan imbas dari otonomi daerah yang menjamin setiap daerah untuk mengaturwilayahnya sendiri berdasar pada local content yang di anut oleh mayoritas penduduknya.

UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999 menjadi cikal bakal lahirnya Perda-perda yang bernuansa syariah di beberapa propinsi di Indonesia. Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang beberapa Kabupaten/Kotanya menerapkan Perda Syariah dan hal tersebut telah memancing kontroversi, karenabagi warga yang non muslim, secara tidak langsung telah “dipaksa” untuk turut serta melaksanaka isi perda syariah tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan kebebasanberagama dan hak asasi manusia yang yang terdapat dalam UUD 1945.

Falsafah adat Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”menjadi penting untuk di telusuri serta menjadi fokus utama dalam menyelami religiusitas masyarakat Minangkabau dan falsafah adat tersebut dipakai sebagai pisau analisis terhadap UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, agar pembahasan mengenai kebebasan beragama dan hak asasi manusia bisa di letakkan secara proporsional.

Sumber-sumber yang dijadikan referensi dalam tulisan ini adalah buku-buku, jurnal yang berkaitan dengan sejarah dan peradaban Minangkabau, falsafah adat,kebebasan beragama dan hak asasi manusia, UU Otonomi Daerah dan artikel-artikel ilmiah lainnya yang berkaitan dengan topik yang akan dibahas. Media internet juga memberi informasi yang cukup signifikan terhadap tulisan ini sehingga output yang akan diperoleh dari tulisan ini diharapkan menjadi salah satu bahan referensi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan nilai-nilai filosofi-sosio-kultural yang ada dalam masyarakat dan telah menjadi karakteristik beberapa wilayah di Indonesia yangdi kenal dengan “kearifan lokal”

DEFINISI KONSEPTUAL

Religiusitas berasal dari bahasa latinreligio, yang berakar dari kata religare yang berarti mengikat. Secara instansial religius menunjuk pada sesuatu yang dirasakan sangat dalam yang bersentuhan dengan keinginan seseorang yang butuh ketaatan dan memberikan imbalan sehingga mengikat seseorang dalam suatu masyarakat. Mayer mengatakan bahwa agama adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakan terhadap Tuhan, orang lain dan diri sendiri. (http://www.scribd.com/doc/24562588/iryl-nitip, diakses 19 Mei 2010)

Menurut Anshari walaupun istilah agama sering disamakan dengan istilah yang lain seperti religi (religion: bahasa Inggris) dan (ad-diin: bahasa Arab), pada dasarnya semua istilah ini sama maknanya dalam terminologi dan teknis, meskipun masing- masing arti etimologis, riwayat, dan sejarah sendiri-sendiri. Anshari mendefinisikan agama, religi, ad-diin sebagai sistem keyakinan atas adanya yang mutlak di luar diri manusia dan suatu sistem peribadatan kepada sesuatu yang dianggap mutlak , yaitu Tuhan yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, serta sistem norma (kaidah) yang mengatur hubungan sesama manusia dengan manusia, dan dengan alam sekitarnya sesuai dan sejalan dengan keyakinan manusia itu sendiri.

Menurut Majid, religiusitas seseorang adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya, tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakkan harga dan makna tindakan empirisnya di bawah supra empiris. Kualitas religius seseorang ditentukan oleh seberapa jauh seseorang itu mampu memenuhi ciri-ciri sebagai manusia religius dengan mengacu kepada sebutan-sebutan tersebut. Religius Islam meliputi dimensi jasmani dan rohani, fi kir dan dzikir, akidah dan ritual, penghayatan dan pengamalan, akhlak, individual dan kemasyarakatan, dunia dan ukhrawi. Pada dasarnya religiusitas meliputi seluruh dimensi dari seluruh aspek kehidupan.

Religiusitas tidak identik sama dengan agama secara umum walaupun seharusnya orang yang beragama itu adalah sekaligus orang yang religius juga. Maksudnya orang yang tekun dan taat melaksanakan agamanya secara lahiriyah. Religion dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari pada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri. Vergilius Ferm, seorang ahli ilmu pengetahuan keagamaan dan perbandingan agama, merumuskan definisi religion sebagai seperangkat makna dan kelakuan yang berasal dari individu-individu yang religius. Ia menegaskan kembali pengertian religion adalah istilah yang umum menunjuk pada semua agama-agama yang dapat ditangkap, baik formal maupun informal.(http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, di akses 19 Mei 2010)

Masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur (http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, di akses 19 Mei 2010).

Suku Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnis di Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat, yaitu Kota Padang. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Minangkabau, di akses 20 Mei 2010).

Masyarakat Minangkabau dipahami sebagai sekelompok orang (etnis) yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur, mempunyai aturan-aturan hidup tersendiri (way of life) dalam membentuk karakteristik etnisnya. Adat dan budayanya bercorak keibuan (matrilineal), mempunyai sistem perkawinan, sistem pemerintahan, kesenian, bahasa dan budaya yang khas dan keberagamaan yang kuat. Oleh sebab itu, masayarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat adat yang sangat menjunjung nilai-nilai keislaman, sesuai dengan falsafah Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru”.

Kebebasan secara umum dimasukkan dalam konsepfilsafat politik dan dipahami sebagai kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan, di akses 20 Mei 2010). Kebebasan beragama mengandung arti setiap individu secara asasi mempunyai hak untuk menyakini akan keberadaan sang Pencipta. Karena manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga, dan sumber yang luar biasa itu diberi penamamaan sesuai dengan bahasa manusianya sendiri, seperti Tuhan, Dewa, God, Shang-ti, Kami-Sama dan lain-lain. Kebebasan beragama di Indonesia mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Hak Asasi Manusia (HAM) atau lebih tepatnya “hak-hak manusia” (human rights) adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan “universal” karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tidak peduli apa pun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang cultural, dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). HAM merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.

Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU tentang Otonomi Daerah Tahun 2008, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peran pemerintah pusat adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dalam rangka otonomi daerah, diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah, dan visi itu dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi, sosial dan budaya. (Syaukani 2007, h.173)

PEMBAHASAN

Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah

Di berbagai tulisan yang mengupas tentang sejarah Minangkabau, para pengkaji masih berbeda pandangan mengenai kapan munculnya komunitas Minang. Ada yang mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau itu sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu dan sejak saat itu pula masyarakatnya telah beradat. Berita dari tambo/ kisah (Navis 1994, h.45) dan cerita rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara samar mengenai hal ini.

Sejarah Minangkabau menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun ia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, ia juga membawa sumbangan besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang bernuansa Buddha atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, nilai-nilai baru mulai masuk ke Sumatera Barat. Nilai-nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai-nilai baru tersebut adalah agama Islam (http: //id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sumatera_Barat, di akses 20 Mei 2010).

Sebelum kedatangan Islam, bahkan sebelum masuknya Buddha dan Hindu ke wilayah Minangkabau, sesungguhnya masyarakat Minangkabau telah mempunyai peradaban. Pada masa-masa awal, masyarakat Minangkabau menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan dasar dari falsafahnya. Menurut DR. Muchtar Naim(Amir M.S, h.61) Adat Minangkabau sebelum bersentuhan dengan Islam adalah adat yang praktis, tidak mengenal ajaran kosmologi-okultisme,yaitu pengetahuan tentang asal usul kejadian bumi, serta kejadian tentang kekuatan gaib. Bahkan, mereka tidak mengenal ajaran “spiritisme-animisme” apa pun. Ajaran tentang “spiritisme-animisme” adalah ajaran yang berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan kepercayaan bahwa benda-benda alam seperti pohon, gua, gunung dan lain-lain mempunyai roh. Kalau diperhatikan, kebudayaan Hindu-Buddha dan Jawa-Hindu yang pernah masuk ke Minangkabau ternyata lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bukti-bukti yang berarti.

Nenek moyang orang Minang, secara tidak langsung telah menjadikan “sunatullah” yang terdapat dalam alam ini sebagai dasar adat Minangkabau. Apa yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau i’tibar bagi kehidupan. Oleh sebab itu, dibuatlah ketentuan alam berupa petatah petitih, misalnya: api panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembek, harimau mengaum, dsb.

( http://palantaminang.wordpress.com/2009/ 12/05/konsepsi-dasar-adat-mainangkabau/, diakses 21 Mei 2010

Islam dan Minangkabau

Pada pertengahan abad ke-7 M, agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun, pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai timur Sumatera.

Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh pedagang India atau lainnya. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama karena terbentur kepentingan perkembangan politik Cina dan agama Buddha.Di Kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Buddha sekte Baiwara. Pengaruh agama Buddha ini hanya berkisar di sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut. (http://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minangkabau/alam/, di akses 6 Mei 2010

Baru pada akhir abad ke-13, agama Islam masuk secara teratur dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam kepada setiap pelanggannya. Setelah masuk ke daerah pesisir, seperti daerah Tiku, Pariaman, dan Air Bangis, kemudian Islam masuk daerah pedalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi secara damai dan tampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan agama Hindu dan Buddha tidak banyak dijumpai di Minangkabau karena agama tersebut tidak sampai berakar di kalangan masyarakat, melainkan hanya di sekitar lingkungan istana saja.

Sejak masuknya Islam ke Minangkabau, maka mulailah terjadi pergumulan antara adat dan agama di ranah Minang, sehingga melahirkan kesaksian adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Untuk sampai pada kesaksian ini, ada beberapa fase yang dilalui:

a)Fase pertama, Rumah basandi batu. Adat basandi alua patuik Artinya, dasar falsafah Minang pada fase ini murni dari alam dengan landasan rasio atau akal.

b)Fase kedua, Adat basandi syarak, Syarak basandi adat, bak aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo. Artinya, pada fase ini Islam sudah mulai berpengaruh, tetapi baru setengah-setengah.

c)Fase ketiga, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Artinya, pada fase ini tidak ada lagi perdebatan antara adat dan syarak atau agama. Orang Minang telah menyadari bahwa Islam hadir untuk mereka sebagai rahmat dari Tuhan.

Adanya perubahan-perubahan ini membuktikan adanya pergumulan antara ketentuan adat dan agama Islam dalam mengatur masyarakat Minangkabau.(Amir, M.S 2002, h.8) Pergumulan itu merupakan suatu proses penyesuaian antara adat dan agama Islam, dan bukan suatu proses untuk saling menyingkirkan. Karena, kedua aturan itu sama-sama dianggap baik dan berguna oleh masyarakat Minangkabau.

Setelah Perang Padri (1821 M), hubungan antara adat Minangkabau dengan agama Islam dipertegas dengan ungkapan yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau: Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah, Syarak mangato adat mamakai. Perang Padri merupakan aia gadang yang mengubah tapian tampek mandi masyarakat Minangkabau dengan menempatkan syariat Islam sebagai sumber ajaran yang membimbing dan mengatur semua segi kehidupan (Taufik Abdullah 1987, h .119). Sampai saat ini, secara formal prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, masih menjadi pegangan dan acuan bagi masyarakat Minangkabau. Dalam konsep ini, diyakini dan diterima oleh masyarakat Minang bahwa adat, dalam segala pengertiannya, harus bersumber dan tunduk kepada syariat Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul. Segala keputusan adat tidak boleh lain daripada manifestasi dari ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip inilah yang menyebabkan adat itu tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Secara berangsur-angsur tata nilai kehidupan masyarakat Minangkabau berubah dan dipengaruhi oleh ajaran Islam. Semenjak itu ada yang rumusannya tidak lagi didasarkan pada musyawarah dan mufakat, akan tetapi berdasarkan ajaran Islam.

Falsafah Adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah)

Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan (Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam) para pemuka adat dan ulama di puncak bukit Marapalam pada masa perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu didasari atas sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah disingkat dengan ABS-SBK (adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan al-Quran.).

Falsafah adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaiak mamakai, alam takambang jadi guru (adat bersendi syariat, syariat bersendi al-Quran, syariat berkata adat memakai, alam terbentang menjadi guru) dijelaskan dengan:

1. "Syarak mangato adat memakai". Kata-kata syarak diambil dari Al-quran sunah dan fiqih, akhirnya dipakai dalam adat.

2. "Syarak bertelanjang-adat bersamping." maknanya syarak terang dan tegas, sedangkan adat diatur berdasarkan prosedur yang benar berdasarkan membaca yang tersurat, tersirat dan tersuruk, selanjutnya juga mempertimbangkan sesuatu itu dengan seksama dan bijaksana.

3. "Adat yang kawi, syarak yang lazim." Artinya adat tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan . "Kawi" berasal dari bahasa Arab "qawyyun" berarti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau diwajibkan. Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya berdosa kalau ditinggalkan. Lazim artinya berpahala atau dikerjakan. "Zim" dikenakan sanksi siapa yang tidak mengerjakannya. Dengan "adat yang kawi syarak nan lazim"(http://palantaminang.wordpress.com/2008/02/16/falsafah-adat-minangkabau-kepentingan- religius-dengan-budaya/, diakses pada 25 Mei 2010).

Masuknya syariat dalam tatanan adat, membuktikan terjadinya transformasi sosial dalam kultur masyarakat Minangkabau. Transformasi sosial ini menjadi acuan masyarakat Minangkabau untuk menstrukturisasi bagan sosial. Kontribusi Islam dalam hal ini adalah mencairkan kebekuan format adat dalam otoritas kekuasaan raja. Syariat mengonstruksi ulang adat ke arah yang lebih fleksibel, sehingga adat dapat mengalami perluasan-perluasan dalam menghadapi perubahan masyarakat.

Falsafah adat yang berlandaskan syariat, membentuk mode of religiousity masyarakat Minangkabau yang Islami. Itulah sebabnya muncul pandangan bahwa tidak ada masyarakat Minangkabau yang non Muslim. Berdasarkan hal ini pula Hamka (1967, h.22) menyimpulkan bahwa sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Penegasan falsafah dalam budaya Minangkabau merupakan haluan yang memiliki kekuatan hukum ilahiah. Deskriptif ilahiah ini mewarnai terminologi dan simbolisasi dalam satu kesatuan budaya. Bentuk kepemimpinan Minangkabau yang dibangun oleh tiga kekuatan yang disebut tungku tigo sajarangan (pemerintah, ulama dan pemuka masyarakat) merupakan realitas dari simbolisasi serta konsekuensi terminologi keislaman yang masuk ke dalam falsafah Minang, sehingga terwujud budaya baru berupa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Kebebasan Beragama, Hak Asasi Manusia dan Otonomi Daerah

Di Indonesia, kebebasan beragama secara umum dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 28E UUD 1945 dengan tegas disebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (ayat 2). Jaminan ini diperkuat lagi dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Jaminan ini dipertegas lagi dengan Pasal 22 UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 1) dan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 2). Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tertera dalam Universal Declaration of Human Rights telah berkembang pesat di luar Eropa dan Amerika Utara, dan HAM dipahami secara berbeda oleh masyarakat di luar tanah kelahirannya. Pemahaman yang berbeda ini disebabkan oleh perbedaan pandangan hidup masing-masing masyarakat pendukungnya. Secara umum, masyarakat Barat berpandangan bahwa ada pemisahan negara dengan agama.

Sedangkan masyarakat Timur adalah masyarakat yang religius, masyarakat yang mementingkan kebersamaan dan berbentuk kolektif. Dalam masyarakat Timur, pemisahan wilayah agama, moral dan hukum tidaklah bersifat tegas atau hitam-putih. Ada yang memahami HAM berlaku universal, ada juga masyarakat yang memahaminya bersifat partikular(Zahid 2007, h.84). Namun, pada akhirnya terdapat kesepakatan bahwa HAM bersifat universal, sedangkan pelaksanaannya bersifat partikular. Deklarasi akhir konferensi di Vienna tahun 1993 menyimpulkan bahwa HAM bersifat universal, namun perbedaanp,erbedaan regional, latar belakang historis, kultural dan religius, harus dipertimbangkan dalam memahami HAM dan pelaksanaannya (Kelsey 1997, h.57).

Membahas religiusitas masyarakat Minangkabau tidak dapat dipisahkan dengan ideologi yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Karena setiap pola tingkah laku, aturan-aturan yang diterapkan oleh masyarakat Minangkabau, adalah ajaran-ajaran yang tercipta dari proses kontemplasi yang dalam terhadap fenomena alam dan selanjutnya ajaran-ajaran itu berakulturasi dengan nilai-nilai keislaman, sehingga pola, karakter keberagamaan masyarakat Minangkabau, selalu tercermin dalam falsafah adatnya, yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Falsafah adat menjadi rujukan bagi masyarakat Minangkabau setiap kali mengambil keputusan. Kebebasan beragama di Minangkabau tidak menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan bahkan diperdebatkan.Pada kenyataannya masyarakat Minangkabau yang menganut monoreligi (Islam) ini sangat toleran terhadap kaum minoritas. Hal itu dapat dibuktikan dengan relatif kecilnya konflik keagamaan di Sumatera Barat.

Setelah diberlakukan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pemerintahan terendah di Sumatera Barat kembali pada sistem pemerintahan nagari, dengan tujuan agar masyarakat Minangkabau dapat menata pola interaksi sosialnya secara mandiri. Di samping itu, ada ‘proyek besar” yang hendak diselesaikan oleh masyarakat dan tungku tigo sajarangan, yakni mengembalikan mentalitas Minangkabau yang agamis dan intelektual, seperti yang pernah terjadi pada masa sebelumnya. Atas dasar inilah digagas banyak konsep, antara lain, menghidupkan kembali surau sebagai institusi revivalisme keislaman di tingkat bawah.

Dengan berkembangnya politik pasca reformasi dan otonomi daerah, timbul keinginan menggebu dari sebagian masyarakatuntuk melaksanakan/menegakkan syariat Islam pada tingkat lokal. Secara politis, beragam cara dilakukan untuk menegakkan syariat Islam. Yang paling menonjol adalah penegakan syariat Islam melaui jalur yuridis atau peraturan daerah (perda), seperti UU No. 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Aceh serta perda/qanun pelaksanaannya, kemudian perda-perda ”bernuansa Islam” di wilayah-wilayah lain, seperti Makassar, Bulukumba, Sumatera Barat, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Banjarmasin dan lain-lain (Zahid 2007, h.132).

Provinsi Bali juga mengeluarkan Perda No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yag kemudian disempurnakan menjadi Perda No.3 Tahun 2003. Yang menarik dari Perda ini adalah Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu. Penduduk yang tidak beragama Hindu diposisikan sebagai ”tamu”, di mana penduduk tersebut tidak memiliki suara dalam musyawarah-musyawarah desa dan tidak memiliki hak dipilih. Sementara itu, di Papua, berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, syarat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur bukan saja harus warga negara Indonesia, tetapi juga harus orang asli Papua.

Bagi orang Minang, revitalisasi sistem pemerintahan nagari tidak hanya sebatas pengembalian sistem pemerintahan saja atau pengembalian wilayah geografis, melainkan dipahami sebagai penghidupan kembali jati diri sebagai orang Minang, yang memegang teguh agama dan nilai-nilai universal dalam adat, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jati diri ini dipahami sebagai orang Minang yang ba suku, ba sako, ba pusako dan ba agamo yaitu Islam.

Polemik yang berkembang di Sumatera Barat, berkaitan dengan implementasi falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang tertuang dalam Perda-Perda yang bernuansa syariah, memang menjadi diskursus tersendiri. Sebagian kalangan berpandangan bahwa perda-perda syariah yang bermunculan di berbagai daerah sebagai hal yang bertentangan dengan semangat kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Perda-perda tersebut antara lain adalah Instruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 tentang kewajiban mengenakan jilbab dan busana islami (bagi orang Muslim) dan anjuran memakainya (untuk non-Muslim);PerdaNo. 22/2003 Kota Pasaman tentang berpakaian muslim dan muslimah bagi siswa, mahasiswa dan karyawan (Pasal 5); dan Perda No. 6/2002 Kota Solok tentang berpakaian muslim dan muslimah di Kabupaten Solok (Pasal 5), dan Perda No. 2/2003 Kabupaten Sawahlunto tentang berpakaian muslim dan muslimah (Pasal 5).

Namun, masyarakat di wilayah di mana perda-perda itu dikeluarkan cenderung memandang aturan-aturan ini tidak bersifat diskriminatif. Hasil survei yang dilakukan sebanyak dua kali oleh Freedom Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Padang memperlihatkan bahwa mayoritas responden berpandangan bahwa aturan yang berdasarkan ajaran Islam tidak mesti dipandang sebagai aturan yang diskriminatif. Sekitar 78,0% (2007) dan 98,5% (2008) mengatakan kesetujuan mengenai hal ini (Fauzi 2009). Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sentimen keagamaan dan religiusitas masyarakat Minangkabau di tengah arus kebebasan beragama dan HAM masih sangat tinggi.

Bagi para penggiat kebebasan beragama dan HAM, persentase di atas menunjukkan bahwa kebebasan beragama yang menjadi salah satu pilar kebebasan sipil menjadi terancam eksistensinya. Sebagai contoh, di Sawah Lunto Sijunjung ada 8 orang siswa non-Muslim yang terpaksa harus memakai jilbab dan juga harus bisa membaca al-Quran. Di Pesisir Selatan juga ada kasus seperti itu dan mereka tidak mempunyai alternatif mencari sekolah lain kecuali sekolah tersebut, karena sekolah non-muslim yang ada di Sumatra Barat hanya berlokasi di Padang dan Bukittinggi.

Regulasi-regulasi syariat yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Barat merupakan imbas dari religiusitas masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat memegang teguh ajaran agama. Semangat revitalisasi ajaran Islam merupakan cita-cita luhur sebagian besar masyarakat Miangkabau karena falsafah adat Minangkabau telah menyatakan secara tegas adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sebagai motto hidup masyarakatnya.

Di satu sisi, keberadaan perda-perda bernuansa syariat tersebut dipandang bertentangan dengan semangat kebebasan beragama/HAM, juga dengan Konstitusi (UUD 1945), yang telah mengatur tentang Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Namun, di lain sisi, perda-perda ini dibutuhkan dalam rangka membangkitkan kembali semangat religiusitas masyarakat Minangkabau yang telah tergerus oleh arus kebudayaan global.

Timbulnya gejolak penolakan kaum minoritas terhadap “perda syariah” itu dapat dipahami bahwa memang seharusnya setiap individu itu mendapat ruang privasi yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat paternalistis atau moralistis, karena wilayah tersebut telah diambil perannya oleh agama masing-masing. Negara harus menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama dan untuk melaksakan ibadat menurut keyakinannya masing-masing. Pemerintah daerah yang pada hakikatnya merupakan alat negara harus menjaga konstitusi tersebut, agar sikap toleransi sesama umat beragama dapat terus terjaga.

Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah memang tidak serta merta mejadikan masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat Islamis. Namun, falsafah tersebut memotivasi masyarakat Minangkabau untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam yang selama ini telah dianut oleh masyarakat dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas apakah falsafah tersebut bertentangan dengan nilai-nilai HAM/kebebasan beragama atau tidak, masyarakat telah menyepakati falsafah tersebut menjadi way of life-­nya orang Minangkabau.

PENUTUP

Masyarakat Minangkabau telah dikenalberabad-abad yang lalu sebagai komunitas budaya yang sangat menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Sebagai masyarakat adat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah alam, masyarakat Minang menjadikan adat sebagai dasar pijakan yang kuat terkait nilai-nilai kehidupan. Aturan-aturan yang di buat dan diterapkan di institusi adat merupakan kesepakat bersama.

Islam membawa perubahan pandangan adat menjadi lebih religius. Pijakan adat diperkuat dengan dasar-dasar keislaman. Islam datang tidak mengubah nilai-nilai falsafah yang telah dianut oleh masyarakat adat, namun lebih ke arah perubahan mindset tentang alam. Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah memberi arah yang jelas bahwa pada dasarnya masyarakat Minangkabau itu adalah masyarakat yang religius, bahwa adat harus bersumber dan tunduk kepada syariat Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul. Segala keputusan adat tidak boleh keluar dari manifestasi ajaran Islam. Prinsip inilah yang menyebabkan adat itu tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan.

UUD 1945 memang telah menjamin setiap warga negaranya untuk memeluk dan menyakini agama dan kepercayaannya masing-masing dan hal tersebut merupakan bagian dari Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Namun bagi masyarakat Minangkabau,falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” secara tidak langsung hendak menyatakan bahwa bagi masyarakat Minangkabau hanya mengenal satu ideologi; yaitu Islam dan adat yang di pakai dalam mengatur interaksi masyarakat Minangkabau bersendikan pada agama.Religiusitas masyarakat Minangkabau tercermin dari totalitas keberagamaan masyarakatnya terhadap keyakinan, pengamalan, penghayatan, pengetahuan, dan konsekuensi keberagamaan. Prinsip tersebut di implementasikan dalam regulasi “syariah” yang banyak diterapkan oleh Pemerintah Daerah di Sumatera Barat. Konsekuensi yang diterima oleh Pemerintah Daerah yang menerapkan Perda tersebut adalah protes keras oleh masyarakat Sumatera Barat yang non muslim, karena mereka menganggap bahwa kebebasan beragama dan hak asasi manusianya sudah di kebiri oleh kebijakan diskriminatif dari Pemerintah Daerah. Sedangkan bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, Perda tersebut tetap dibutuhkan dalam rangka menstimulan masyarakat Minangkabau agar tetap konsisten dalam menjaga religiusitas masyarakat Minangkabau.

Otonomi daerah yang diberlakukan disemua wilayah Nusantara menjadi sangat penting dan memberikan kontribusi positif bagi setiap daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing. Minangkabau yang menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Barat menganggap kebijakan otonomi daerah itu sebuah peluang untuk mengembalikan peran masyarakat adat, yang secara tidak langsung peranannya telah diambil oleh pemerintah Orde Baru. Pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan Desa telah memorak-porandakan sistem pemerintahan nagari yang telah mapan dalam tugas dan fungsinya sebagai pemerintahan terendah dalam stuktur pemerintahan daerah. Nagari merupakan bagian sistem pemerintahan keadatan, yang menjadi pranata sosial bagi masyarakat Minangkabau. Surau mengambil peran sebagai pusat pendidikan dasar keagamaan, sehingga kolaborasi adat dan agama menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau.

Kebijakan pemerintah daerah mengeluarkan regulasi bernuansa syariah hendaknya disikapi secara proporsional. Hal itu segoyanya tidak hanya ditinjau dari segi kebebasan beragama dan hak asasi manusia saja, namun perlu juga ditinjau dari segi “kearifan lokal”, sehingga khazanah keberagaman budaya, etnis dan agama dapat berjalan beriringan, selama regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah disosialisasikan dengan baik dan dapat diterima semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Taufiq. 1987. Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Histori Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

De Jong, P.E, de Josselin. 1987. Minangkabau dalam “Islam and Society in Southeast Asia. Taufiq Abdullah dan Sharon Siddique (peny.). Singapura: Institute of Southeast Studies

Hamka. 1967. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Djajamurni.

M.S, Amir. 2002. Tanya Jawab Adat Minangkabau. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Moenir, Darman. 1985. Tambo Minangkabau. (terj) Padang: PT Balai Pustaka

Navis, A.A.1994. Alam Takambang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press

Usman, M. Basyiruddin dan Duski Samad. 2007. “Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Pencegahan dan Resolusi Konflik. Jurnal Aktualita Islamika, Vol I, No 3.

Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kelsay, John dan Summer B. Twiss. 1997. Agama dan HAM. Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei.

Nasroen, M. 1957, Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang.

Syaukani. 2007. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Internet:

Abbas, Afifi Fauzi. 2009. “Konsepsi Adat Minangkabau,” http://palantaminang.wordpress.com/2009/ 12/05/konsepsi-dasar-adat-mainangkabau/: diakses pada 21Mei 2010

Hanani, Silfia. 2008. Falsafah Adat Minangkabau Kepentingan Religius Dengan Budaya, http://palantaminang.wordpress.com/2008/02/16/falsafah-adat-minangkabau-kepentingan- religius-dengan-budaya/, diakses pada 25 Mei 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun