Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintahan Jokowi-JK, Sudirman Said boleh saja dikenal figur yang sukses dalam karirnya. Tapi siapa sangka, Sudirman kecil juga pernah mengalami masa-masa sulit.
Lahir dari keluarga biasa-biasa saja, ayahnya bernama Said Suwito Harsono seorang mantri guru (sekarang kepala sekolah SD), dengan ibu seorang perempuan Desa Slatri Kecamatan Larangan, Tarnyu. Sudirman lahir pada Jumat Kliwon, tanggal 16 April 1963. Ia anak kedua dari enam bersaudara pasangan tersebut. Sebelum menikahi Tarnyu, Said meninggalkan empat anak dari hasil perkawinan dengan perempuan asal Tegalglagah, Bulakamba yang meninggal dunia lebih dulu.
“Kami enam bersaudara, Mas Dirman (Sudirman Said) itu anak kedua semuanya lahir di Slatri. Mas Dirman itu yang paling tinggi sekolahnya diantara kami,” tutur H Sartono Said, anak ketiga Said-Tarnyu, yang tak lain adik dari Sudirman saat ditemui di Desa Slatri, Selasa (28/10).
Sudirman kecil, menurut Sartono, dikenal sebagai anak yang rajin dan ulet. Dalam usia yang masih dini, saat itu Sudirman kelas 5 SD, sang ayah wafat. Kondisi tersebut membuat ekonomi keluarga menghadapi masa-masa yang sulit, untuk menyambung hidup sang ibu harus gali lubang tutup lubang demi membiayai hidup anak-anaknya. Pahitnya kehidupan yang dirasakan keluarga Sudirman, membuat ibunda selalu berpesan kepada anak-anaknya agar sekolah setinggi langit. “Mas Dirman itu SD sampai SMA tinggal di Tegalglagah, ikut sama kakak, anak bapak dari istri pertama.
Saat itu kondisi ekonomi keluarga kami sangat kesusahan,” terang Sartono.
Dalam kondisi yang memprihatinkan, semangat juang Sudirman kecil terbilang sangat kuat diantara teman seumurnya.
Sesekali ke Slatri, Sudirman juga pernah menjadi kuli bongkar muat bambu diturunkan dari truk sekadar mencari uang jajan. Kemudian, saat SMA, Sudirman juga pernah berjualan batik di kampungnya walau akhirnya rugi besar. “Pas ada rejeki, Mas Dirman belanja batik banyak sekali di Solo. Kemudian dijual keliling panggul pakai bengketan, batiknya sih
laku habis, tapi duitnya tidak ada karena pada utang. Kalau disuruh nagih, katanya ngga tega. Ya, bangkrut,” Sartono senyum-senyum.
Walau berkali-kali selalu belum berhasil, namun Sudirman dikenal tidak pernah putus asa. Selalu saja ada inisiatif dan tekad kuat untuk hidup lebih baik. Semangat itu pun rupanya menjadi ciri tersendiri Sudirman di mata keluarganya.
Bahkan semangat belajarnya menghantarkan Sudirman selalu jadi rangking di kelasnya semasa sekolah.
Tanti Said, kakak Sudirman mengisahkan adiknya masuk SD saat berusia 5 tahun. Namun, baru usia 7, kelas 2 SD baru masuk daftar siswa sekolah di SDN Tegalglagah 1. Meski belum cukup umur, tapi sudah bisa mengikuti pelajaran seperti teman-temannya. Bahkan cukup menonjol dalam pelajaran sampai melanjutkan ke SMP Banjaratma (sekarang SMPN 1 Bulakamba) dan SMAN 1 Brebes. “Kalau tidak rangking satu ya rangking dua, dari SD sampe SMA,” ungkap Tanti.
Selepas SMA, Sudirman diterima jurusan Bahasa Inggris di UNS Solo. Namun akhirnya memilih STAN di Jakarta. Ia kemudian mendapat beasiswa melanjutkan studinya di Master Bidang Administrasi Bisnis dari George Washington University, Washington DC USA. Jalan hidup telah menghantakan Sudirman menjadi orang yang cukup sukses dan membanggakan keluarga nama daerahnya. Sebelum ditunjuk menjadi Menteri ESDM, Sudirman sudah berkiprah di berbagai lemabaga swasta maupun plat merah. Ia dikenal sebagai aktivis pegiat korupsi dengan suara keras pada mafia migas. Sudirman juga masih menjaga hubungan dengan warga Brebes, dengan sejumlah ide untuk Pemkab Brebes. “Dulu waktu saya mahasiswa, beliau (Sudirman Said) juga kasih motivasi kepada KPMBD Jakarta. Banyak gagasan dan ide pembangunan, cuma tidak tahu sampe ke Pemkab apa ngga, salah satunya adalah ide mangawinkan sungai Pemali dan Cisanggarung Losari untuk mensuplai kebutuhan air pertanian di Brebes. Banyak yang lainnya,” tutur Ismail, mantan aktivis KPMDB Jakarta.