TerpujilahWahai engkau, Ibu Bapak GuruNamamu akan selalu hidupDalam sanubariku…
Vina adalah aktivis kelompok paduan suara di sekolahnya. Setiap memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hari Guru, siswi kelas 2 sebuah SMA ternama di bilangan Jakarta Selatan tersebut, kerap didapuk untuk menyanyikan lagu Hymne Guru. “Itu lagu, lirik dan syairnya pas banget. Kalau direnungi maknanya, pasti kita jadi ingat sama jasa para guru,”ujarnya. Sayang, saat ditanya siapa pencipta lagu tersebut, alih-alih menjawabnya, Vina hanya nyengir sambil menggelengkan kapala.
Ketidaktahuan Vina adalah sebuah ironi. Bagaimana tidak, saat jutaan anak Indonesia dengan bersemangat mengumandangkan “lagu kebangsaan” para guru ini tiap memperingati Hari Guru Nasional, nun jauh di sana, di sebuah rumah sederhana di Madiun, Sartono—sang pencipta lagu ini—justru hidup dalam ketidakjelasan. Ya, sejak menyiptakan Hymne Guru pada 1980, alih-alih mendapat royalty atau santunan tetap dari pemerintah, sekadar status “guru tetap” pun, gagal ia dapatkan. Hingga ia berhenti mengajar pada tahun 2000.
Berhenti jadi guru honorer, praktis ia tidak memiliki kerjaan lagi. Kesibukan yang mungkin bisa dianggap sebagai pekerjaannya adalah mengisi les musik dan membuat lagu pesanan atau kadang memainkan lagu-lagu keroncong di berbagai perhelatan. Tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penghasilan dari kerja-kerja tersebut jauh dari cukup. “ Untung istri saya masih mengajar sebagai guru tetap di SD Klegen 5 Madiun,”ujar lelaki 75 tahun ini.
Kendati hidup dalam kondisi serba kekurangan, Sartono tetap bersyukur. Bahkan, lelaki sepuh yang terlihat masih bugar itu, menyatakan tidak memiliki harapan apapun, termasuk santunan pemerintah kepadanya. “Saya tidak mau meminta-minta, lebih baik tidak menerima uang sepeserpun namun harga diri dan kehormatan saya terjaga,”katanya dalam nada pelan.
Saya menangkap kesan, Sartono memang tidak begitu suka membahas soal imbalan dan ketidakacuhan pemerintah terhadap dirinya. Padahal, jika mengingat jasanya, lebih dari penghargaan materi pun sebenarnya wajar ia dapatkan.
Kini, di usia senjanya, tak banyak yang bisa dilakukan Sartono. Untuk mengisi waktu, setiap pagi selepas subuh, kegiatan pertamanya adalah jalan-jalan kecil. Ditemani nyayian burung-burung kecil yang mulai keluar dari sarangnya, sang guru tua berjalan santai mengelilingi Stadion Wilis di Kota Madiun.
“Ya, namanya orang sudah tua, mau apa lagi?”ujarnya sambil terkekeh riang. Beberapa butir keringat terlihat memenuhi kulit keriput di lehernya.
Hingga kini Vina dan jutaan anak di Indonesia mungkin tidak tahu siapa pencipta lagu Hymne Guru. Dan, Sartono pun, tak peduli namanya diingat atau tidak oleh mereka. Namun, bagi saya, dialah sebenar-benarnya pahlawan. Ya, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. [hendijo/Islam-Indonesia/foto:jpnn]
sumber: islam-indonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H