“Sekali kita memilih jalan perjoangan, maka itu jalan tidak ada ujungnya. Dan kita, engkau,aku, semuanya telah memilih jalan perjoangan,” (Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung). Di Indonesia ini, wartawan mana yang tak mengenal Mochtar Lubis. Lelaki kelahiran Padang, 7 Maret 1922 itu, bukan saja dikenal sebagai salah satu pionir jurnalisme di Indonesia, namun juga karena keteguhannya dalam memegang prinsip perjuangan pro rakyat lewat pena. Selain konsisten, ia pun sangat disiplin dalam menjalankan aksi-aksinya tersebut. Disiplin Mochtar dalam memerangikezaliman seolah tak mengenal henti. Saat bergabung dengan Kantor Berita Antara pada 1945, Mochtarterbilang sangat aktifmemberikanpenerangantentang perjuangan bangsa Indonesia kepada para wartawan asing , yang mulai berdatanganke Jakarta guna meliput revolusi di Indonesia saat itu. Pada 1950, Mochtar menjadi pencetus lahirnya Indonesia Raya, sebuah surat kabar investigasi pertama di Indonesia. Lewat ketajaman tulisannya, bagai harimau lapar, Mochtar menerkam setiap mangsanya yang melakukan kezaliman,mulai isu pelecehan seks yang dilakukan seorang pejabatsetingkat departemen hingga korupsi ramai- ramai yang melibatkan seorang mentri dan pengusaha terkenal. Akibat berbagai pemberitaan tersebut, Presiden Soekarno dibuatnya gerah. Sepulang dari pertemuan wartawan internasional di Swis pada1957, Mochtar dikenai tahanan rumah. Mencoba bertahan, Mochtarberupaya mengendalikan Indonesia Raya dari rumahnya. Alih – alih berjalan lancar, pada1961, Soekarno malah memindahkan wartawan jangkung itu ke penjara Madiun dan sekaligus membreidel Indonesia Raya. Setahun setelah Orde Lama jatuh, pada 1968, Mochtar kembali membangkitkan Indonesia Raya . Begitu terbit, jihad pertama Indonesia Raya adalah mengangkat isu korupsi di Pertamina. Kali ini, jihad itu membuahkan hasil. Letjen Dr. Ibnu Sutowo, sebagai pimpinan Pertamina, diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Tahun 1974, situasi politik di tanah air mulai memanas. Mahasiswa berdemontrasi menentang kedatangan PM. Jepang. Pasar Senen dibakar oleh para preman suruhan. Sejumlah tokoh masyarakat dan mahasiswa ditangkap. Ujung –ujungnya Indonesia Raya kembali dibreidel. Kali ini mungkin untuk selama – lamanya. Bisa saja Indonesia Raya mati untuk selamanya. Tapi tidak dengan Mochtar Lubis. Seolah panggilan jihad itu terus membahana di telinganya, wartawan tua itu terus saja menulis dan menulis. Hingga saat tangannya tak bisa menulis lagi di awal Juli 2004 yang lalu. Tapi bukan berarti panggilan jihad itu mati. [hendijo/Islam-Indonesia/foto:istimewa] sumber :islam-indonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H