Bening embun pagi belum beranjak pergi dari daun-daun pepohonan. Namun pada hari Selasa Legi ini suasana kampung Margaroyo telah digegerkan dengan kematian seorang gadis cantik bernama Imah yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.Â
Banyak warga yang tidak percaya dengan kematian Imah putri semata wayang dari pasangan suami-istri Sudarmin dan Ngasiyah yang saban harinya jarang keluar rumah. Sesekali terlihat Imah keluar rumah hanya di halaman untuk menjemur pakaian atau sekedar memberi makan ayam-ayam milik orang tuanya.Â
Sudarmin terlihat sangat terpukul dengan kematian Imah, sedang Ngasiyah yang terpasung di kamar belakang rumah terlihat biasa-biasa saja, bahkan Ngasiyah tampak sesekali cekikikan tertawa bahagia. Sejak Ngasiyah si wanita yang telah mengandung Imah selama sembilan bulan tahu bahwa anaknya lahir tidak seperti pada umumnya, ia tak bisa menerima kecacatan Imah yang bisu dan keterbelakangan mental.Â
Sering kali Ngasiyah memukuli Imah hingga berdarah. Hal itu, membuat Sudarmin tak tega melihat putrinya disiksa, hingga akhirnya Sudarmin terpaksa memasung Ngasiyah istrinya yang sakit jiwa tak bisa menerima Imah sebagai anaknya, sebagai buah hatinya, sebagai putrinya dan sebagai titipan dari Yang Maha Esa.
Saat mentari telah tampak sempurna di ufuk timur cakrawala. Para warga banyak yang sudah berkumpul di rumah Sudarmin, sebagian mereka membuat keranda dari bambu dan sebagian yang lain sibuk mengurusi apapun keperluan untuk proses pemakaman jenazah Imah.Â
Sudarmin masih terlihat belum bisa menerima kematian Imah, ia sejak tadi hanya diam, diam dan diam. Mungkin Sudarmin tak menyangka anak satu-satunya yang telah ia besarkan hingga umur 27 tahun dengan susah payah harus berakhir dengan seutas tali yang mengikat di leher. Tapi, walaupun Imah telah berumur 27 tahun ia masih berperilaku layaknya anak usia belasan, ditambah kebisuannya membuat perkembangan Imah benar-benar tertinggal jauh dari anak-anak yang lahir sebaya dengannya.
Melihat ada kejanggalan dalam kematian Imah, si gadis bisu dan lugu, sebenarnya Pak Hadi, selaku ketua RT kampung Margaroyo telah menawarkan pada Sudarmin agar jenazah Imah diautopsi. Tapi Sudarmin menolak tawaran dari Pak Hadi. Sudarmin hanya meyakini kematian Imah adalah takdir. Selain itu juga Pak Hadi mendapat laporan dari warga yang memandikan jenazah, bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan dalam tubuh Imah.
Setelah proses merawat jenazah mulai dari dimandikan, dikafani, disalatkan dan terakhir dikubur telah selesai. Warga kemudian kembali ke rumah masing-masing. Hanya beberapa warga yang masih berkumpul berada di rumah Sudarmin. Sebagian ibu-ibu tetangga sibuk di dapur rumah Sudarmin memasak makanan selamatan untuk jamuan orang-orang yang nanti malam membacakan doa-doa dan lain sebagainya.
Selain itu, meninggalnya Imah yang tepat pada malam Selasa Legi--konon katanya gadis perawan yang mati pada malam Selasa Legi banyak diincar oleh orang-orang yang mementingkan kepentingannya pribadi mencuri tali pocong untuk mengejar kekayaan dengan cara pesugihan. Keyakinan warga dengan mitos tali pocong Imah yang masih perawan, membuat sebagian warga menawarkan diri untuk menjaga makam Imah nanti malam.
"Tenang, Pak. Nanti malam sebagian warga akan berjaga di makam Imah," ucap Pak Hadi pada Sudarmin memberitahukan perihal penjagaan makam putrinya.
"Apakah itu perlu, Pak?" Sudarmin malah balik bertanya. Mendengar pertanyaan Sudarmin sebenarnya Pak Hadi heran, tapi beliau memaklumi mungkin Sudarmin masih terpukul dengan kematian Imah hingga berbicara sekenanya.