Pilihan kepala desa atau yang disebut dengan pilkades merupakan pesta demokrasi tingkat desa, bahkan sudah ada jauh sebelum adanya pileg. Tujuan pilkades adalah untuk memilih pemimpin desa untuk 6 tahun kedepan. Tapi untuk saat ini apakah pilkades benar-benar menjadi pesta demokrasi masyarakat desa?
Pada masa saat ini pilkades masih selalu lebih panas dari pilkada, pileg bahkan pilpres. Para timses nya akan lebih berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan paslonnya.Â
Banyak kasus demokrasi dipilkades malah tidak berjalan. Misal ada seorang calon beserta timsesnya masuk ke lingkungan RT atau komunitas, disitu calon memeberikan janji atau sesuatu kepada lingkungan RT atau komunitas tersebut tapi dengan syarat dimintai bantuannya untuk memilih calon itu.
 Lha agar lingkungan RT ataupun komunitas itu dapat sesuatu dari calon kades tersebut secara penuh, maka kadang ketua RT atau ketua komunitas menanting dan sedikit memberi tawaran kepada warganya atau anggotanya yang intinya memberikan suara ke calon tersebut tapi dengan bahasa yang rapi.Â
Contohnya "ini demi kemajuan RT kita agar bisa memperoleh bantuan dari calon A dan bila nanti calon A jadi dan lingkungan kita selalu diperhatikan, maka kita semua sepakat untuk mendukung si A dan memilih si A dalam pilkades nanti, tapi jika ingin lingkungan kita tidak maju monggo terserah pada kalian mau pilih si A silahkan mau tidak ya silahkan". Kata-kata itu sudah hampir dipastikan akan mematikan demokrasi warga itu, suka tidak suka pada calon si A harus memilih demi kekompakan wilayahnya.Â
Padahal kalau melihat dari sisi pribadi pasti tidak semua sepakat dan pasti ada yang ingi pilih calon lain, tetapi karena ada kata-kata tadi mereka jadi berfikir, kalau mereka beda pilihan akan dianggap tidak komitmen dan tidak ingin ada kemajuan bila itu setuju menyerahkan ke pribadi masing-masing. Di lain sisi bila setuju demi kemajuan lingkungan haknya secara tidak langsung tidak akan terpenuhi dan tidak sesuai hati nuraninya.Â
Nah inilah yang dimaksud kematian demokrasi dipilkades, hak suaranya ibarat sudah dimonopoli calon tertentu, tidak milih dianggap mbelot dari lingkungan dan komunitasnya sedangkan ikut memilih tidak sesuai hati nuraninya dan hanya karena terpaksa. Sungguh sangat mengerikan dan miris.
Kira-kira di wilayah kalian apakah juga seperti itu? Semoga tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H