Hari Selasa, tepatnya tanggal 1 Oktober 2019 masyarakat Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila sebagai bentuk penghormatan terhadap para Pahwalan Revolusi yang telah gugur pada Gerakan 30 September PKI atau G30S/PKI yang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Bentuk penghormatan yang sering kali dilakukan adalah pelaksanaan upacara yang dilakukan di tiap-tiap sekolah, universitas, kantor, dan instansi pemerintahan.
Selain melaksanakan upacara, bentuk penghormatan lain yang sering dilakukan oleh masyarakat umum adalah dengan mengunjungi Monumen Pancasila Sakti atau lebih dikenal dengan Lubang Buaya. Banyak masyarakat yang mendatangi tempat ini untuk mengenang jasa para Pahlawan Revolusi dan mengetahui peristiwa kelam terbentuknya pemerintahan orde baru.
Lantas mengapa lokasi tersebut disebut sebagai Lubang Buaya? Apakah tragedi G30S/PKI berkaitan dengan penamaan sumur Lubang Buaya?
Dikutip dari pernyataan Kasubsi Bimbingan dan Informasi Monumen Pancasila Sakti Mayor Caj Edy Bawono, penamaan Lubang Buaya sudah ada sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI. Tidak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana nama tersebut terbentuk, namun setidaknya ada 2 (dua) legenda yang dipercayai masyarakat menjadi asal mula nama Lubang Buaya.
Legenda pertama asal usul  nama Lubang Buaya diyakini terbentuk berdasarkan letak sumur maut tersebut yang pada sisi timur berdekatan dengan Sungai Sunter. Pada zaman dahulu, Sungai Sunter menjadi salah satu sungai yang berbahaya karena banyak buaya didalamnya.Â
Buaya-buaya ini sering membuat lubang sebagai tempat persembunyian. Saat sungai sedang pasang, air sungai tersebut akan menutupi lubang-lubang yang dibuat oleh buaya sehingga akan banyak ikan-ikan yang bermain di sekitar lubang tersebut. Namun ikan-ikan tersebut akan terperangkap di sekitar lubang jika air sungai surut, hal ini dikarenakan posisi lubang yang lebih tinggi daripada air sungai. Kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh buaya untuk memangsa ikan-ikan tersebut.
Adapun legenda kedua yang menceritakan tentang seorang tokoh sakti bernama Datuk Banjir. Konon katanya Datuk Banjir adalah nama lain dari Pangeran Syarif Hidayatullah bin Syaikh Abdurrahman, seorang penyebar dakwah Islam di Jakarta.Â
Legenda ini bermula ketika Datuk Banjir sedang menyusuri Sungai Sunter menggunakan perahu bambu untuk melakukan perjalanan dakwah. Ketika melakukan perjalanan, Datuk Banjir merasa bahwa dayung yang digunakannya tidak dapat menyentuh dasar sungai. Area tersebut seperti blackhole yang siap menyedot apapun yang berada diatasnya.Â
Hal ini menyebabkan perahu bambu, dayung, dan juga Datuk Banjir tenggelam kedalam sungai. Untungnya, secara tiba-tiba Datuk Banjir dapat kembali muncul ke permukaan dan selamat.Â
Datuk Banjir bercerita bahwa ketika ia tenggelam, di dasar sungai ia melihat sarang buaya yang sangat besar di dalam sungai itu. Hal itulah yang mendasari Datuk Banjir untuk menamai daerah itu dengan sebutan Lubang Buaya.
Legenda Datuk Banjir merupakan legenda yang paling dipercayai oleh masyarakat sebagai awal mula terbentuknya nama Lubang Buaya. Kini Lubang Buaya telah menjadi saksi bisu terjadinya peristiwa biadab pada tanggal 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia.Â