Mohon tunggu...
iskandi
iskandi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca dan Menulis

28 November 2009   12:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:09 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Apabila ada Negara yang maju, maka selidikilah. Hampir dapat dipastikan bahwa Negara itu memiliki masyarakat yang gemar membaca.
Banyak mahasiswa yang lebih senang menghabiskan uangnya membeli pulsa dari pada membeli buku. Sedangkan Koran yang dibaca gratis tidak mau disentuhnya. Ketika saya tanya kepada seorang mahasiswa, mengapa ia tak suka membaca , jawabannya sungguh mengagetkan. " Banyak yang tak gemar membaca tapi sukses. Ndak kuliah, ndak sarjana nyatanya mereka hidup kaya. "
Kata saya, membaca bukan bertujuan untuk menjadi kaya, Kalau dengan membaca orang langsung menjadi kaya, maka semua orang akan membaca.. Dan tidak semua ukuran orang lain juga cocok untuk anda . Malahan ada yang baru usia 11 tahun sudah sarjana. Orang itu tidak sama. Seperti kata peribahasa, jangan mengukur baju di badan. Arti dari perbahasa itu, bahwa setiap orang memiliki potongan badan berbeda-beda sehingga bajunya pun tentu berbeda ukurannya. Setiap orang memiliki kondisi, latar belakang dan permasalahan yang bebeda. Itu sebabnya tak boleh disamakan. Kalau ada yang hanya tamatan SD tapi ternyata menjadi orang sukses, bukan berarti orang lain yang hanya tamat SD juga akan mengalami sukses yang sama.
Pasangan membaca adalah menulis. Dengan menulis maka yang kita baca dapat tertuang dalam tulisan. Tentu menulis bukan hanya menulis di media cetak. Menuangkan pengalaman, pengamatan, kesan dan renungan dalam buku harian kemudian disimpan juga sudah menulis.
Ketika saya baru mulai menulis, sempat terpikir, nanti ada masanya kalau sudah sekian ratus tulisan maka saya akan kehabisan bahan. Ternyata pikiran itu tidak benar. Selalu nada saja bahan dan inspirasi untuk ditulis.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip pernyatan Taufik Ismail ketika menerima Habibie Award dalam bidang budaya tahun 2007 : "Pembangunan Indonesia yang lebih bersifat materialistis telah menurunkan budaya membaca dan menulis anak bangsa.
Pada masa penjajahan Belanda, selama tiga tahun sekolah setingkat SMA, diharuskan membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku satra dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis.
Membaca dan menulis bukan hanya menambah pengetahuan. Namun juga menumbuhkan rasa kemanusiaan dan logika." ( Kompas Selasa, 4 Desember 2007)"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun