Nuansa kewajiban otonomi daerah dalam UUD No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah tampak lebih menonjol daripada nuansa haknya. Meskipun gairah dan tuntutan otonomi daerah akhir-akhir ini lebih banyak berasal dari bawah (top down) tetapi konteks otonomi daerah tidak memungkinkan lagi manajemen otonomi daerah hanya didasarkan pada hak daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kebutuhan lokalitas. Tantangan berotonomi daerah, jika disadari dengan seksama dan serius, menuntut manajemen otonomi daerah untuk tidak didekati lagi dengan prinsip business-as-usual, tetapi dengan business-as-it- could- be (Dr. Syakrani dan Dr. Syahriani, 2009). Maksudnya elit politik dan birokrasi di daerah harus mampu mengembangkan inovasi dan terobosan yang akan menjadi best practice. Dalam banyak kasus. Administrative best practice yang diprakrasai oleh organisasi pelaksana tidak akan efektif tanpa political best practice, yang kokoh dari pemimpin, dan political best practice yang dimaksud hanya berkembang dari altruistic leadership.
Seperti kita pahami, UU pada umumnya tidak hanya mengatur secara normatif persoalan pokok yang menjadi urusan publik, tetapi pokok soal yang diatur didasarkan pada aspek-aspek filosofis yang menjadi fokus orientasi implementasi aturan-aturan normatif tersebut. Rincian pasal demi pasal menggambarkan rentang lingkup aturan normatif, sedangkan bagian konsiderannya menyediakan sebagian aspek landasan filosofisnya. Demikian juga dengan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Tetapi kerapkali, pemahaman (mind set) terhadap sebuah UU lebih banyak difokuskan pada uraian pasal demi pasal, sehingga kadang-kadang implementasi pasal-pasalnya kehilangan orinetasi atau kurang bahkan sampai pada titik kelalaian dalam aspek filosifisnya. Kebijakan yang diambil akhirnya pun kurang mencerminkan sebab-sebab mengapa UU itu diciptakan.
UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah terdiri atas 240 pasal. Secara konseptual berbeda dari UU sebelumnya. UU ini praktis sanggup, atau setidak-tidaknya mau menampung hampir semua semangat zaman/orde pemerintahan, seperti kesejahteraan, pemerintahan yang bertanggung jawab serta pelayanan yng bermutu. Seluruh cakupan semangat zaman tersebut terkristal dalam dua konsiderannya.
Konsideran pertama berkaitan dengan konteks domestik seperti kesejahteraan, pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, daya saing daerah, demokrasi, keadilan dan pemerataan. Dengan pemaknaan implementasi UU 32 Tahun 2004 harus memberi kepastian terwujudnya nilai-nilai tersebut, dengan fokus sentral kesejahteraan masyarakat.
Tetapi terwujudnya nilai-nilai itu harus memberikan veraging effect (dampak pengungkit) terhadap nilai-nilai yang terkandung pada konsideran kedua yang memiliki cakupan konteks global otonomi daerah, seperti aspek hubungan antar daerah, pengembangan potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global. Dalam konteks global ini, para elit politik dan birokrat daerah adalah mengkomprehensifkan serta mengkoneksikan perannya dalam menigkatkan kesejahteraan masyarakat yag diwujudkan dengan pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, daya saing daerah, keadilan dan pemerataan yang kemudian peran tersebut harus berdampak signifikan terhadap peningkatan daya saing bangsa. Semangat lokalitas atau daerah yang diberikan dalam bentuk kemandirian (otonomi) haruslah dipahami sebagai unit-unit dalam sebuah sistem pemerintahan yang akan menjadikan integrasi dan integritas bangsa, yang saat ini sedikit mangalami bias persepsi dengan model-model parsialisme lokal. Jika implementasi otonomi daerah keluar atau menyimpang jauh dari koridor yang dipaparkan sebelumnya, maka sesungguhnya format manajemen pemerintahan dan kepemimpinan pembangunan yang diterapkan patut dipertanyakan baik secara konstitusional maupun moral.
Desentralisasi sekurang-kurangnya memiliki dua dimensi, yaitu dimensi politik dan administratif. Dalam sistem pemerintahan yang bernuansa politisasi birokrasinya msih kuat, aspek-aspek politik desentralisasi bisa menghegemoni aspek adminstratifnya. Itulah yang kemudian menyebabkan birokrasi menjadi tidak stabil dan rentan dalam perubahan rezim. Hal ini membutuhkan gaya kepemimpinan yang inovatif dan kreatif dari Kepala derah (Gubernur, Bupati/Walikota) untuk mensinergiskan tendensi politik dan tata kelola administarif pemerintah daerah sebagai upaya lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, bukan pendekatan pelayanan terhadap elit/birokrat.
Esensi dan eksistensi pelaksanaan otonomi daerah di atas adalah hal yang mutlak adanya, karena kemandirian dan tanggung jawab kini diemban oleh pemerintahan daerah (DPRD dan Kepala Daerah), sehingga kepentingan publik dan bangsa harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, seluruh aparat pemerintahan daerah harus menyadari bahwa fungsi dan perannya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat. Bukan sebaliknya, dengan over elegan, melayani masyarakat atas dasar status baik status sosial, ekonomi atau pendidikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H