[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
"Dua nikmat Allah yang banyak menjadikan manusia tertipu adalah nikmat sehat dan waktu luang."—Rasulullah SAW.
Semua manusia punya jatah waktu yang sama, 24 jam dalam sehari. Tapi tiap-tiap manusia punya cara dan motivasi yang berbeda dalam memanfaatkan waktu tersebut. Ada yang tidak menghasilkan apa-apa, membunuh waktu dengan tidur, bermain atau berleha-leha. Ada yang menghasilkan satu pekerjaan. Dua pekerjaan. Bahkan sekian banyak pekerjaan yang tak terhitung jumlahnya. Akhir tahun lalu, jagat media sosial sempat dikagetkan dengan kabar meninggalnya Mita Diran di Singapura setelah sang copywriter bekerja nonstop selama sehari enam jam (30 jam). Berita ini membuktikan, manusia bisa lebih dari sekedar bekerja keras sehari penuh, karena punya energi untuk itu. Kurang lebih sama dengan kiasan manusia bisa memanjat tembok dua meter saat dikejar-kejar anjing! Lantas mengapa kita sering merasa tidak punya cukup waktu untuk menuntaskan setumpuk pekerjaan? Bagaimana caranya menuntaskan satu pekerjaan agar pekerjaan berikutnya bisa menyusul untuk dikerjakan--di tengah sempitnya tenggat waktu yang ditetapkan? Solusi yang paling tepat adalah dengan menambah lagi aktifitas atau pekerjaan agar semakin sedikit waktu luang! Kok malah ditambah sih, isjet? Agak aneh memang. Tapi coba ingat, betapa seringnya kita mengalami perasaan lepas atau bebas setelah mengerjakan satu tugas berat atau besar yang membutuhkan kurun waktu tertentu. Apa yang terjadi saat perasaan itu muncul? Kikuk, canggung, bahkan gelisah. Karena tidak ada lagi beban pekerjaan yang harus dikerjakan, padahal persis sekian menit sebelumnya kita berada dalam keadaan bekerja tanpa kenal lelah. Mau ngapain lagi ya? Tidur, udah. Nonton, udah. Bersantai, udah. Makan kalap, udah. Terus ngapain lagi? Waktunya masih tersisa banyak nih. Mau tidur lagi, gak ngantuk. Mau nonton lagi, bosan. Mau makan lagi, udah kenyang. Mau beraktifitas lagi, ngerjain apaan dong? Pekerjaan udah selesai semuaa!! Nah, kalau sedang berada di titik ini, saya selalu teringat petuah bijah MH Ainun Najib alias Caknun dua puluh tahun lampau. Waktu itu saya masih kelas satu Aliyah, bertandang ke rumahnya bersama teman-teman sekolah dalam sebuah rangkaian ekspedisi Ramadhan 20 hari. Dia bilang, "Istirahat adalah pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain." Setelah letih menulis, beristirahatlah dengan membaca. Capek membaca, istirahat dengan Shalat. Letih menulis dan membaca, istirahat dengan tidur untuk memulihkan energi. Begitu seterusnya, sehingga setiap menit waktu tidak terbuang sia-sia. Petuah itu terekam kuat bukan hanya karena diucapkan oleh seorang tokoh yang saya kagumi, tapi karena saya dengar setelah bangun tidur di rumahnya--sebuah cara yang saya pilih sambil menunggu si kedatangan tuan rumah yang waktu itu sedang dalam perjalanan pulang dari satu kegiatan. Dan faktanya, perasaan tidak punya waktu untuk mengerjakan setumpuk tugas dialami oleh seseorang saat dia tidak siap alias belum memiliki pengaturan waktu yang pas. Boleh jadi dia shock. Dirinya belum bisa dengan cepat beradaptasi dari kondisi luang ke kondisi penuh pekerjaan. Sehingga yang bisa dia lakukan hanya sedikit mengurangi waktu luang dan sedikit menambah waktu kerja. Karena masih punya waktu luang, dia merasa pekerjaannya bisa diselesaikan tepat waktu. Zona waktu kerjanya tetap digunakan secukupnya (tidak maksimal). Sementara zona waktu luangnya dihabiskan seperti biasa (dengan aktifitas yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa selain kesenangan). Hasilnya adalah: antara dia berleha-leha dalam mengerjakan tugas sehingga melewati tenggat waktu yang ditetapkan. Atau dia tergesa-gesa dalam mengerjakan tugas sehingga hasilnya tidak memuaskan (atau malah sama sekali tidak memenuhi batas minimum kualitas yang diharapkan). Nah, kalau sudah begini, mengapa tidak mencoba menjejalkan waktu luang dengan aktifitas-aktifitas lain yang sama produktifnya dengan tugas yang sedang dituntaskan? Dengan hilangnya waktu luang tadi, maka diri kita akan terpacu untuk menuntaskan pekerjaan di zona waktu kerja, dan tidak pernah berpikir memiliki waktu luang, yang pada akhirnya mendorong diri untuk menunda-nunda pekerjaan. Dengan memangkas waktu luang dengan aktifitas baru dan membiasakan diri mengubah waktu luang sebagai waktu produktif, maka kalender selama sehari yang kita miliki akan terisi penuh, memudahkan kita belajar disiplin dengan waktu. Jam ini harus mengerjakan itu, jam berikutnya sudah harus masuk ke aktifitas ini. Begitu seterusnya. Atau kurang lebih begitu semestinya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H