Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Narita, Bandara yang Kucinta... (Jepang 6)

23 Desember 2009   18:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 2311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_42692" align="aligncenter" width="500" caption="berpose di pesawat Malaysia Airlines (seorang pramugari, gak tau namanya)"][/caption] Setelah lama terbuai dalam rutinitas kerja yang tidak ada habisnya, terlebih sejak saya terlibat aktif dalam proses lahirnya Kompasiana baru dengan format dan tampilan yang sama sekali beda dari versi sebelumnya, tiba-tiba, di penghujung tahun ini, saya teringat satu janji yang belum dipenuhi: bercerita panjang lebar seputar pengalaman saya jalan-jalan ke Jepang bulan Agustus lalu. Sebuah perjalanan nekat yang tidak mungkin terwujud tanpa Kompasiana, tanpa bantuan Bu Nining, salah seorang Kompasianer yang selama dua tahun terakhir bekerja dan tinggal di Tokyo bersama keluarganya. Meski sudah berpuluh-puluh hari terlewati, saya masih ingat sensasi Tokyo selama sepuluh hari (15-22 Agustus 2009) ‘mengembara' di sana. Ya, selama di sana petualangan saya memang tidak jauh-jauh dari Tokyo. Atau bisa dibilang sebagai city tourism, berkeliling menyusuri sudut kota yang nyaman dan asri. Saya mampir ke pasar Shibuya, nongkrong di Harajuku, lalu menyaksikan kesibukan stasiun Tokyo yang besar dan ramai sesak. Esoknya saya naik ke Menara Tokyo, mejeng di depan patung Liberty, terpesona dengan jalan raya di bawah laut, kemudian jalan-jalan di taman Ueno yang luas dan dipenuhi seabrek tempat kunjungan wisata. Paling jauh saya keluar jalan-jalan di taman kota Yokohama, kota pelabuhan yang jauh dari kesan kumuh apalagi gersang seperti suasana Tanjung Priok, Pluit dan daerah pesisir Jakarta lainnya. Atau ke kota Kawasaki, itupun dalam rangka nyasar (untuk pertama dan terakhir kalinya) di rangkaian Kereta Api Terpadu Tokyo yang mengagumkan. Setiap hari selama di Tokyo, saya bangun pagi-pagi untuk sebuah petualangan baru hingga matahari hilang dari peredaran mengiringi kaki ini melangkah pulang. Setiba di flat Bu Nining (yup, saya mendapat pelayanan yang luar biasa mengesankan selama seminggu lebih tinggal, tidur, mandi, makan dan bercengkerama dengan keluarga Bu Nining), telapak kaki sudah memerah dan betis terasa lebih besar dari biasanya. Menjelang tidur, saya gosokkan kedua batang kaki dengan balsam untuk meredam rasa pegal, sambil berharap besok pagi bangun dengan kondisi badan ini fit kembali untuk melanjutkan petualangan berikutnya. Dan begitu seterusnya, hingga tak terasa delapan hari musim panas di Tokyo saya lalui dengan penuh kesan tak terlupakan.... Tapi sebelum hari ke delapan itu tiba, saya akan mulai cerita di Tokyo di hari pertama kehadiran saya. Di pagi hari yang cerah, ketika pesawat Malaysia Airlines yang saya tumpangi mendarat di bandara internasional Narita, Jepang.

***

[caption id="attachment_42693" align="aligncenter" width="500" caption="suasana di salah satu sudut bandara Narita, Jepang (iskandarjet)"][/caption] Malam itu, untuk pertama kalinya saya berada di udara selama delapan jam-karena sebelumnya hanya merasakan penerbangan domestik yang jarak tempuhnya maksimal dua jam di udara. Setelah dilepas dengan penuh haru oleh keluarga, istri dan dua anak tercinta, pesawat Malaysia Airlines terbang menuju bandara internasional Kuala Lumpur yang megah itu (cerita menarik di KL International Airport insya Allah menyusul). Di sini saya masih ingat pesan Bu Nining agar tidak terlena dengan kemegahan KL. "Dua jam itu waktu yang singkat loh, mas Is. Awas ketinggalan pesawat!" Begitu wanti-wantinya di surat elektronik. Dan beruntung, meskipun sempat terlena, saya bisa berada di tempat boarding pass pada menit-menit terakhir menjelang keberangkatan. Setelah transit dua jam di bandara Kuala Lumpur, pesawat yang saya tumpangi terbang menuju Narita. Cuaca di luar sedang baik-baik saja, sehingga praktis tidak ada masalah selama melintasi banyak negara. Yang bermasalah mungkin hanya saya yang baru sekali berada di pesawat Boeing 777-200 berbadan besar dilengkapi dengan fasilitas multimedia di setiap tempat duduk. Awalnya agak canggung, tapi setelah melihat gerak-gerik tetangga, saya bisa juga mengoperasikan fasilitas yang tersedia. Tapi praktis fasilitas hiburan di pesawat tidak bisa dinikmati karena badan sudah terlanjur letih dan memilih tidur hingga Subuh tiba. Setiba di Narita, saya menemukan satu jawaban atas pertanyaan yang selama ini terpendam: Kenapa Jepang yang jelas-jelas berada di belakang Amerika dalam kampanye pemberantasan terorisme tidak terjamah oleh tangan teroris, tapi justru Indonesia yang kena sial dapat impor teroris dari negeri luar? [caption id="attachment_42491" align="aligncenter" width="500" caption="citra satelit bandara Narita (googlemaps)"][/caption] Jawabannya, karena sistem pengamanan Narita luar biasa ketat. Begitu sampai di loket kedatangan orang asing, petugas bandara menanyakan banyak hal, termasuk di mana saya akan tinggal selama di Jepang. Dan berhubung saya datang atas jaminan staf diplomat KBRI, proses ‘interogasi' yang dilengkapi dengan foto diri dan cap sidik jari berjalan lancar. Pemeriksaan barang dan badan juga terasa sangat ketat-dan merepotkan. Semua barang bawaan dibongkar. Yang dicari bukan hanya bom atau barang titipan Noordin M Top lainnya. Tapi juga sayur-mayur, hasil ternak dan barang-barang yang menurut peraturan pemerintah Jepang tidak dibolehkan masuk tanpa izin resmi. Komunikasi di bagian pemeriksaan ini juga sangat bermasalah karena tidak satu pun petugas yang ada di depan saya mengerti bahasa Inggris. Walhasil, semua dialog dilakukan dengan bahasa tubuh. Dan titipan yang mustinya berjajar di dapur Bu Nining terpaksa disita petugas. Beruntung makanan khas Betawi tidak masuk dalam daftar barang larangan seperti tercantum di buku besar petugas yang selalu ditunjukkan ke saya. [caption id="attachment_42703" align="alignleft" width="300" caption="mejeng dikit di bandara Narita (iskandarjet)"][/caption] Badan saya juga diperiksa detil. Hal serupa saya rasakan waktu kembali ke Jakarta. Kalau di Indonesia, pengunjung mungkin hanya diminta mengeluarkan ponsel dan kunci sebelum melewati pendeteksi besi (metal detector). Tapi di Narita, jaket dan ikat pinggang juga harus dilepas. Kalau metal detector masih berbunyi, petugas akan kembali memeriksa besi dan sejenisnya yang masih menempel di badan, lalu kita disuruh balik lagi melewati metal detector. Begitu terus, sampai mesin pencari besi ini diam alias tidak bilang "tiiit" lagi. Saya baru bisa melewati ruang pemeriksaan setelah semua barang di tas diperiksa satu per satu. Dan di sudut sana, orang-orang sibuk memasang kembali ikat pinggang dan memasukkan benda-benda ke dalam kantongnya semula. Lalu saya beranjak menuju ruang tunggu seperti telah disepakati bersama Bu Nining. Bagi saya, Narita adalah representasi kecanggihan dan keteraturan Jepang. Kemewahan dan fasilitasnya yang lengkap dan terawat tidak perlu diragukan lagi. Tempat check-in terhampar luas sejauh mata memandang. Ditata dengan rapi, dengan memperhatikan aliran manusia yang bisa membludak tak terkira. Begitu masuk ke dalam, suasananya terasa seperti di mal dengan toko dan butik penjual barang-barang mewah. Begitu asri dan nyaman. Saya coba masuk ke rest room. Fasilitasnya begitu bersih terawat, seakan berada di hotel bintang lima. [caption id="attachment_42695" align="alignright" width="300" caption="tempat duduk khusus untuk manula, cacat, hamil dan pembawa balita (iskandarjet)"][/caption] Di sudut-sudut ruang tunggu tersedia tempat sampah untuk setiap jenisnya: kertas, plastik, kaleng dan botol. Tradisi mendahulukan orang jompo, cacat, wanita hamil dan pembawa balita jelas terlihat dari deretan bangku khusus yang ada di bagian terdepan. Tradisi berdiri di sisi kiri ketika berjalan atau berdiam di eskalator juga sudah dimulai dari sini. Kelak, dalam beberapa hari berikutnya, saya akan menyaksikan tradisi itu membumi di keseharian warga Tokyo. Soal teknologi, Narita jagonya. Tiket yang dikeluarkan di bandara ini jauh berbeda dengan tiket dari Malaysia apalagi Jakarta. Kertasnya bagus, dilengkapi dengan Quick Response Code (QR Code) yang penggunaannya di Indonesia telah dipelopori oleh harian Kompas. Kalau biasanya tiket itu diserahkan lalu dirobek petugas menjelang masuk pesawat, di Narita tiket itu masuk lewat mesin pembaca tiket. Tidak ada lagi basa-basi di sini, karena pemeriksaan ketat sudah dilakukan di pintu masuk dan keluar bandara. Jadi meskipun baru sekali ke Narita (persisnya sih dua kali, waktu datang ke jepang dan pulang balik ke kampung halaman), saya langsung jatuh cinta. Dan layaknya orang yang sedang jatuh cinta, saat ini saya jadi kangen ingin balik lagi ke sana.... Sambil menunggu cerita selanjutnya, berikut saya lampirkan foto-foto di Narita: [caption id="attachment_42696" align="aligncenter" width="500" caption="semua berdiri di kiri. yang sedang bergegas, bisa lewat lajur kanan (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_42697" align="aligncenter" width="500" caption="tiket dengan teknologi QR Code. di bandara KL dan SH gak nemu tiket kaya gini... (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_42700" align="aligncenter" width="500" caption="jalan menuju bandara Narita (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_42702" align="aligncenter" width="500" caption="kursi pijat dengan koin. sayang gak sempat nyobain (iskandarjet)"][/caption] Sebelumnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun