Pihak Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dalam sebuah kesempatan, mengingatkan saya untuk fokus dalam belajar sepanjang periode Program Kepemimpinan Tamu Internasional (IVLP). Karena program ini bukan sekedar transfer informasi, tapi juga transfer kebudayaan lewat rangkaian kegiatan. Dan sebagai peserta, saya tidak hanya diminta untuk mendapatkan ilmu, tapi juga berbagi ilmu. Agar program pertukaran ini benar-benar bisa menjadi media yang efektif dalam memperkenalkan Amerika kepada orang Indonesia, dan memperkenalkan Indonesia kepada orang Amerika. Sebelum berangkat, saya enggan membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Maksudnya, apa yang terjadi dengan lidah Betawi saya ketika harus berhadapan dengan orang-orang Amerika. Harap maklum, teman-teman. Saya tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik. Hanya bisa bicara sedikit-sedikit, dan sedikit-sedikit memahami percakapan orang. Kalau ditanya tingkat kemampuan saya dalam berbahasa Inggris, saya kesulitan mendefinisikannya. Pokoknya, sedikitlah. Selama ini, setiap kali mencoba mempraktekkan bahasa Inggris, saya sering deg-degan. Takut salah dan diketawain orang. Dan memang sering seperti itu kejadiannya. Orang-orang pada ketawa, sehingga besok-besok saya malah jadi senang mengulangi kesalahan biar orang tetap bisa tertawa. Lumayan kan, bikin orang seneng dapat pahala, hehehe.. Kadang ada satu dua kesempatan bertemu dengan orang bule di kantor. Meskipun rasa deg-degan sedikit berkurang karena yakin kali tidak akan ada orang yang tertawa karena urusan bahasa, saya tetap kesulitan mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Masalahnya ada di kepala. Setiap apa yang mau saya bicarakan, saya rangkai dan susun dulu kalimatnya di kepala. Kadang yang disusun jadi panjang, berkalimat-kalimat. Nah, pas mau diucapkan pakai lidah, semua susunan kalimat tadi buyar, sehingga akhirnya terbata-bata. Itu yang sering dan selalu terjadi. Sehingga mau berapa kali ikut kursus, seakan tidak ada gunanya! Bayangin aja. Dari SMP sampai gini ari masih belum kelar juga belajar dan belum bisa juga ngomong Inggris. Padahal di setiap jenjang pendidikan, setiap ada saja waktu untuk belajar bahasa Inggris (dan keinginan kuat untuk menguasainya). Tapi ternyata hasilnya: Nihil! Lalu, sampai pada akhirnya, ketika saya berada di negara berbahasa Inggris seperti di Amerika ini, semua pemikiran saya soal 'belajar bahasa Inggris' langsung berubah total. Perubahan ini saya alami pelan-pelan, seiring semakin pedenya saya ngomong cas-cis-cus (maksudnya bener-bener cas-cis-cus loh). [caption id="attachment_196045" align="aligncenter" width="640" caption="Mejeng bentar di satu persimpangan kota Alexandria, Virginia, sambil jalan makan siang (ismyr)"][/caption] Satu hal yang saya sadari soal belajar bahasa Inggris adalah, selama ini saya salah menempatkan posisi bahasa asing. Saya menganggap bahasa sebagai ilmu pengetahuan. Saya mengejar kemampuan berbahasa seperti saya mengejar kemampuan menyetir mobil. Begitu bertemu dengan orang-orang Amerika, dan tidak ada seorang pun di sini yang berbicara bahasa saya, saya baru sadar bahwa bahasa, tidak lebih tidak kurang, adalah sebuah alat komunikasi. Bahasa adalah sebuah sarana yang digunakan untuk berbicara dengan orang lain. Karena bahasa itu adalah alat untuk berkomunikasi, maka saya tidak perlu deg-degan lagi bicara bahasa Inggris untuk menyampaikan apa yang ada di benak saya atau menanyakan sesuatu atau meminta tolong ke orang lain. Buat apa lagi takut? Kalau merasa komunikasi harus dilakukan, ya keluarkan saja semua lewat bahasa yang bisa dimengerti bersama. Awalnya mungkin masih ada rasa sungkan dan kurang percaya diri. Tapi setelah satu dua hari, alam bawah sadar saya memaksa kemampuan berbahasa yang sebenarnya sudah ada di sini (nunjuk ke kening) untuk keluar dari alam tidurnya. Tapi ini bukan berarti saya mendadak mengerti semua yang mereka katakan. Atau saya bisa mengatakan dengan sempurna apa yang seharusnya mereka mengerti. Setidaknya, saya sudah menggunakan bahasa Inggris sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai alat komunikasi dengan masyarakat berbahasa Inggris. Persis seperti saat saya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan masyarakat berbahasa Indonesia di kampung halaman tercinta. Yang perlu saya lakukan selama berada di sini adalah mencatat kosakata atau ekspresi yang sering digunakan tapi belum saya kuasai. Itu yang sementara ini saya anggap cukup. Selebihnya, saya benar-benar mengandalkan situasi dan kondisi saat ini di mana setiap orang yang saya temui tidak bisa diajak bicara kecuali dengan bahasa Inggris. Itulah salah satu keterkejutan lain yang saya temukan di sini. Dengan teman-teman segrup, saya sering berkelakar, "Di sini banyak banget bulenya ya!":D [caption id="attachment_196046" align="aligncenter" width="640" caption="Saking banyaknya bule di sini, yang jualan pun bule! :D"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H