Melakukan penerbangan domestik di negara 9/11 sungguh melelahkan. Persis setelah terjadinya tragedi "Nine Eleven" yang melibatkan empat pesawat komersil, pemerintah setempat menerapkan pengawasan ekstra ketat di semua bandar udara di wilayah Amerika Serikat. Standar keamanan ditingkatkan beberapa kali lipat dari biasa. Tidak boleh ada satu pun peluang bagi penumpang untuk melancarkan aksi pembajakan atau aksi kriminalitas lain di dalam pesawat. Dan ketika ada teroris yang berhasil menyelundupkan senjata di sepatu, maka semua sepatu yang mau naik pesawat juga ikut-ikutan harus diperiksa. Masyarakat Amerika Serikat sendiri merasa sangat tidak nyaman dengan pemeriksaan berlapis yang dilakukan di semua bandara. Pemandu yang menemani saya selama berkeliling Amerika Serikat, satu warga kelahiran Amerika Serikat dan satu lagi warga keturunan Indonesia yang sudah menjadi warga negara sana, dua-duanya mengungkapkan keluhan yang sama. Bayangkan. Hanya untuk menempuh perjalana kurang satu jam dari Washington DC ke New York City, seorang penumpang harus menghabiskan waktu tiga jam lebih untuk melewati antrian panjang di pintu pemeriksaan di kedua bandara. Itulah sebabnya, saat hendak bertolak dari DC ke NYC, saya dan rombongan diarahkan untuk melewati jalur darat dengan menggunakan mobil trayek yang sudah disewa oleh pihak Kementerian Luar Negeri selaku pengundang. Pertimbangannya ya itu tadi. Butuh waktu empat jam untuk bisa lolos keluar dari bandara di New York apabila perjalanan dilakukan dengan pesawat terbang. Itu berarti sama dengan lama perjalanan lewat jalan tol dengan menggunakan mobil pribadi. Karena banyak orang yang menggunakan jalur darat, kemacetan sepanjang jalan DC-NYC pun tak terhindarkan, apalagi di akhir pekan. Kondisinya kurang lebih sama dengan saat orang-orang di Jakarta berbondong-bondong ke Bandung di ujung minggu. Tapi buat saya, kemacetan saat keluar DC dan saat melewati pintu gerbang tol New York City menjadi pengalaman tersendiri yang, tentunya, sangat menyenangkan. Secara umum, pemeriksaan di bandara manapun di Amerika Serikat sama ketatnya. Begitu tiba di bandara, seperti biasa, calon penumpang melakukan check-in pesawat. Saya, maksudnya pemandu yang menemani rombongan IVLP, lebih sering melakukan check-in lewat mesin mirip mesin ATM yang tersedia di dalam bandara. Setelah memasukkan nomor booking dan pencet ini-itu, tiket pun keluar dari dalam mesin. Setelah itu, kita berenam bergabung dengan calon penumpang lain yang sudah mengantri di pintu pemeriksaan. Pada prinsipnya, petugas meminta setiap orang mengeluarkan apapun yang ada di saku. Semuanya. Benda yang terbuat dari logam juga tidak boleh menempel di badan. Dan tambahan prinsip ketiga adalah soal sepatu. Tidak boleh pakai sepatu saat melewati pintu pemeriksaan! Jadi, semua yang menempel di badan selain pakaian, harus dimasukkan ke dalam keranjang. Ponsel, dompet, gesper, tas, uang logam, kunci, semua masuk ke keranjang. Laptop harus dikeluarkan dari tasnya. Satu orang biasanya butuh minimal dua keranjang besar untuk menampung barang-barang tadi. Setelah barang-barang yang bisa dicopot dari badan tadi berjalan menuju mesin pemeriksa, kita diarahkan menuju scanner yang tingginya mencapai dua meter dan panjangnya sekitar tiga meter. Kalau masih ada barang yang terselip di saku, seperti uang kertas atau tiket, petugas akan meminta kita menggenggamnya selama melewati mesin pemeriksa. Di dalam mesin pelacak badan inilah sekujur tubuh kita dipotret dengan sinar laser dalam posisi kedua tangan di atas, kaki dilebarkan dan badan menghadap ke kiri. Jepret. Selesai. Buat calon penumpang yang tidak nyaman atau tidak bisa diperiksa dengan sinar laser, akan ada petugas yang memeriksa secara manual dengan tangan. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. [caption id="attachment_214706" align="aligncenter" width="630" caption="Usaha pertama memotret areal pemeriksaan di Hartsfield-Jackson Atlanta International Airport, 25 Agustus 2012. Hasilnya kurang maksimal karena harus ngumpet-ngumpet dari jarak jauh. (iskandarjet)"][/caption] Pemeriksaan yang dilakukan tentu membuat semua penumpang nampak berantakan. Tampilan rapi berubah drastis, tanpa gesper dan sepatu. Maka setelah mengantri panjang dan melewati mesin pemeriksa, saya masih harus menyisihkan waktu untuk beres-beres, memasukkan semua benda pada tempatnya dan mengenakan kembali gesper dan sepatu seperti sedia kala. Areal pemeriksaan ini sangat steril dan dijaga ketat oleh petugas. Kita tidak boleh memotret ruangan itu, apalagi memotret petugasnya. Soalnya akan dicurigai sebagai teroris yang sedang mematai-matai sistem keamanan dalam negeri. Saya sendiri mencoba mencuri-curi waktu untuk bisa mengabadikan areal pemeriksaan. Setelah sekian kali keluar-masuk bandara, saya pun berhasil mengabadikannya di General Mitchell International Airport, Milwaukee, Wisconsin, dalam perjalanan menuju Salt Lake City, Utah [caption id="attachment_214707" align="aligncenter" width="630" caption="Akhirnya, tempat pemeriksaan yang gak boleh difoto ini berhasil saya abadikan dengan kamera waktu terbang dari Milwaukee, Wisconsin, menuju Salt Lake City, Utah, 6 September 2012. (iskandarjet)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H