Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jangan Jadi Pelamar Kerja Seperti Saya!

22 April 2012   18:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melamar pekerjaan bukanlah fitrah manusia.  Sebagai makhluk pekerja, manusia sejatinya melakukan satu pekerjaan, berproses lalu mendapatkan hasil dari apa yang telah dikerjakan. Apa yang terjadi dalam proses mencari kerja adalah upaya untuk mendapatkan pekerjaan. Agak konyol bukan? Seharusnya pekerjaan itu melekat di setiap gerak manusia-dan tidak perlu dicari-cari!

Tapi sekarang adalah era modern. Dalam mencari makan, manusia tidak hanya berurusan dengan tanah, air dan pasar. Banyak pemilik pekerjaan (baca perusahaan) yang membutuhkan tenaga kerja, sehingga tidak sedikit orang yang mengalokasikan waktunya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Di samping tentu saja masih banyak kelompok manusia lain yang mendedikasikan hidupnya untuk berusaha dan bekerja untuk dan atas namanya sendiri, atau lebih sering disebut sebagai entrepreneurship.

Saya termasuk satu dari ratusan juta angkatan kerja yang setiap tahun memenuhi database pemerintah Indonesia. Saya masih ingat saat harus membuat puluhan surat lamaran usai kuliah, sepuluh tahun lalu. Surat-surat itu saya perbanyak bersama dengan semua persyaratan yang dibutuhkan. Ada yang hanya perlu ijazah, ada juga yang perlu surat kelakuan baik dari polisi ataupun surat pencari kerja dari pemerintah. Untuk yang terakhir, hingga detik ini saya sama sekali tidak merasakan manfaat adanya departemen tenaga kerja. Tidak surat kuningnya, tidak juga kementeriannya.

Setelah semua persyaratan dilengkapi, berkas lamaran tadi saya susun di atas lantai, lalu saya masukkan ke dalam amplop coklat besar satu per satu. Dalam sehari, saya pernah menyediakan 20 amplop besar sekaligus, dengan harapan semakin banyak yang dilamar semakin besar peluang mendapatkan pekerjaan.

Setelah itu, berkas lamaran tadi saya bawa ke kantor pos, sebagian saya bawa langsung ke kantor pembuat lamaran. Tidak sedikit lamaran berlabel "walk in interview" yang saya jabanin. Pernah di satu hari yang panas, saya naik-turun dari satu gedung ke gedung lain di kawasan Sudirman Jakarta. Yang melakoni pekerjaan itu jelas bukan saya seorang. Waktu itu sedikitnya ada enam orang yang naik-turun gedung-gedung yang sama, untuk lowongan sama juga, di jenis perusahaan yang sama: pialang saham.

Tapi karena lowongan jadi penjual saham dan sejenisnya dibuat sedikit samar, saya pun pulang dengan perasaan terkecoh. Di hari-hari berikutnya, tidak ada lowongan "walk in interview" yang saya lirik, kecuali yang berasal dari dealer mobil.

Kalau Anda tanya berapa jumlah lamaran yang pernah saya buat, saya tidak bisa menjawabnya-karena saking banyaknya!

Selama hampir tiga tahun, melamar pekerjaan telah menjadi pekerjaan harian. Dan satu-satunya pengalaman yang saya punya waktu itu juga cuma satu, yaitu pengalaman melamar kerja. Naif banget ya?

Tapi itu saya anggap sebagai perjalanan hidup. Terlebih saya termasuk pembabat hutan alias tidak punya pegangan dan jaringan yang bisa diandalkan untuk memperlancar proses pencarian kerja.

Berasal dari keluarga Betawi yang kurang akrab dengan dunia kerja kantoran, saya memang harus meraba-raba semua kemungkinan yang ada di balik gedung tinggi. Sambil mengantarkan makanan nasi padang pesanan orang kantoran di kawasan Mega Kuningan, saya waktu itu cuma bisa membayangkan, gimana caranya bisa kerja di kantor sambil memesan makan siang di warung nasi Padang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun